logo-faye-01.png

kaskus.jpg

Generasi Inspirasi - Faye Simanjuntak Bantu Anak Indonesia Raih Hak Mereka

tedtalk2.jpg

TEDxYouth@SPH - Am I too young?

sarahsehan.jpg

Faye Simanjuntak Berbagi Cerita Mengenai Rumah Faye

tedtalk.jpg

TEDxJakarta - Popping Your Child Trafficking Bubbles 

cnn.jpg

Faye Simanjuntak, Remaja 14 Tahun Lawan Perdagangan Anak

bukatalk.jpg

Buktalks - Mewujudkan Keadilan Sosial Melalui Rumah Faye

media.jpeg

Jangan lewatkan satu nyawapun, subscribe hari ini

banner 1.png

aset 5.jpg

banner 2.png

aset 4.jpg

banner 3.png

aset 3.jpg

**[Fayola Maulida](https://www.instagram.com/faymaulidaa/)**

“Children are our future,” they say. But throughout years, cases of child exploitation and child abuse are still occurring. The United Nations Convention on the Rights of the Child (UNCRC), defines that a child is a person under 18 years of age. Every child has 4 fundamental rights that stick to them, which are: the right to live, to grow and develop, to get protection, and to participate. However, it is still often seen that child trafficking, abuse, and exploitation are still prevalent in society.

>  **Child trafficking and child exploitation are happening.** Never imagine that this sort of problem only happens in rural areas or places that are beyond your reach. Because it could happen right at this moment, somewhere near you.

“What is child trafficking? What is child exploitation?” Perhaps both questions came to your mind. Indeed, it requires some time to comprehend it thoroughly and figure out why we should care about these issues. Child exploitation and trafficking are both related. In short, not every child has got four of their fundamental rights fulfilled. Not every child has the chance to choose or have choices. There are children out there being sold and forced to do things that will result in a great trauma to produce advantages for other people in many aspects, economically, socially, or politically. The ‘usage' of children for personal benefits that violate their physical and mental health, also bringing severe damaging impacts towards their education and personal development is how child exploitation is defined. Don’t underestimate these cases, they  will leave a lifelong footprint along with children’s life. 

**One of the many ways a child can be exploited is in the form of  sexual exploitation.** UNICEF and WHO defines it as *“Any actual or attempted abuse of a position of vulnerability, power differences, or trust for sexual purposes, including but not limited to threatening, monetary, social or political profit from the sexual exploitation of others”.* This covers cases where a person or a certain amount of people are getting profit from a child that is being used for sexual purposes. Sexual exploitation cases are not only happening offline but also online. Cited from KPAI (Indonesian Commission for Child’s  Protection) from the year 2011-2016, there are 1809 cases of online child exploitation. Police data also stated that from 2016-2018 there are 1127 cases of sexual exploitation of children in which some parts of them are using digital media as their platform. According toECPAT Indonesia, there are 150 cases of child sexual exploitation in Indonesia with 28% of the reported cases made up from the act of child pornography.

Online child exploitation can be done through as sexting (exchange of sexual images or messages), grooming (seductive acts for sexual purposes), and streaming (online live stream of sexual abuse).

Child sexual exploitation has a long-term, seriously concerning impact on children’s mental and physical health, along with their individual development. Evidence has shown that sexual abuse can cause various problems such as self-harm, eating disorders, depression, and post-traumatic stress disorder. Sexual exploitation could happen to every child, yet perpetrators usually target ‘vulnerable’ children, for example, those who have trouble with their family, drugs or alcohol problems, and learning difficulties. Despite childhood being a golden period in human growth and development, abuse and exploitation will diminish children's opportunities to explore and express themselves. 

Rumah Faye is concerned about how child exploitation and trafficking cases have increased and stands as an organization that focuses on our vision to free Indonesian kids from trafficking, abuse, and exploitation with three fundamental programs which are: prevention, rescue, and recovery. Prevention is a program where Rumah Faye will expand the community’s awareness regarding child trafficking, exploitation, and sexual violence. Rescue is Rumah Faye’s program to save children from child trafficking, sexual abuse, and exploitation through numerous external partnerships. Last of all, recovery is a program where Rumah Faye will provide a safe haven, including counseling, education, and life skills, for victims of child trafficking, exploitation, and abuse. With the execution of these programs, we hope the numbers of child exploitation, abuse, and trafficking will decrease.

There are many things we can do to contribute to stop sexual exploitation issues:
- Educate yourself and make sure you understand the danger of child trafficking and abuse
- For parents, teach your child sex education, reproductive health, and safe internet usefrom a young age so they can understand and be protected
- Report to the authorities if you witness any child exploitation and abuse
- Use social media as a platform to increase people’s awareness of issues regarding child exploitation and abuse
- Donate to organizations that aim to stop child abuse. 

Remember that the matter of child exploitation isn't a thing that can be solved in a day. It takes effort, courage, and action. However, each and every progression we make to attempt to stop these problems will consistently be valued. In this way, let’s battle these issues together for the sake of Indonesian children!

Sources:
- Kemenpppa, 2019. Buku Panduan Terminologi Perlindungan Anak dari Eksploitasi oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Jakarta: Kemenpppa.
- [Pace UK. 2020. The impact of child sexual exploitation.](https://paceuk.info/about-cse/the-impact-of-child-sexual-exploitation/)
- [The Children Society. 2020. What do you need to know about CSE.](https://www.childrenssociety.org.uk/what-we-do/helping-children/help-us-stop-child-sexual-exploitation-cse/what-do-you-need-know-about-cse)
- [The NSPCC. 2020. Child sexual exploitation.](https://www.nspcc.org.uk/what-is-child-abuse/types-of-abuse/child-sexual-exploitation/)

**[Fayola Maulida](https://www.instagram.com/faymaulidaa/)**

“Anak merupakan masa depan bangsa,” katanya. Namun faktanya, hal-hal terkait dengan eksploitasi anak dan kekerasan pada anak masih banyak terjadi. Menurut *The United Nations Convention on the Rights of the Child (UNCRC)* anak adalah mereka yang umurnya dibawah 18 tahun. Setiap anak mempunyai 4 hak fundamental yang melekat pada diri mereka masing-masing yaitu hak untuk hidup, hak untuk tumbuh dan berkembang, hak untuk mendapat perlindungan, dan hak untuk berpartisipasi. Namun, acap kali terlihat di media bahwa perdagangan, kekerasan, dan eksploitasi anak masih banyak sekali terjadi di masyarakat.

> “Perdagangan anak, eksploitasi anak, itu semua terjadi. Jangan berpikir bahwa hal-hal tersebut hanya terjadi di pelosok negeri. Ini dapat terjadi di sekitarmu sekarang dan di detik ini.”

**“Perdagangan anak itu apa? Eksploitasi anak itu apa?”** Mungkin kedua pertanyaan ini terbesit di pikiran kita. Butuh waktu memang untuk sepenuhnya mengerti apa sebenarnya isu tersebut dan mengapa kita harus peduli. Eksploitasi dan perdagangan anak merupakan dua hal yang berkaitan erat. Singkatnya, tidak semua anak berada di dalam perlindungan dan keamanan yang layak. Tidak semua anak telah terpenuhi keempat hak dasarnya. Kemudian, tidak semua anak juga bisa mempunyai kesempatan untuk memilih atau kesempatan untuk mempunyai pilihan. Ada anak-anak yang diperdagangkan dan dipaksa untuk melakukan berbagai hal demi keuntungan bagi orang lain dalam bentuk ekonomi, sosial, maupun politik. Hal-hal tersebut tentu dapat memberikan trauma yang hebat bagi anak. Penggunaan anak demi keuntungan pribadi yang merugikan kesehatan fisik, mental, perkembangan dan edukasi mereka inilah yang disebut dengan eksploitasi anak. Jangan salah, tindakan-tindakan ini dapat memberikan pengaruh buruk jangka panjang dalam diri anak.

**Salah satu bentuk eksploitasi pada anak adalah eksploitasi seksual.** Eksploitasi seksual pada anak dapat diartikan sebagai penggunaan anak untuk tujuan seksual untuk mendapat keuntungan bagi orang lain. UNICEF dan WHO mendefinisikannya sebagai *‘setiap penyalahgunaan aktual atau percobaan atas posisi kerentanan, perbedaan kekuasaan, atau kepercayaan untuk tujuan seksual, termasuk tetapi tidak terbatas pada mengancam, mengambil untung secara moneter, sosial atau politik dari eksploitasi seksual orang lain’.* Kasus eksploitasi seksual ini tidak hanya terjadi dalam dunia luring (*offline*) namun juga daring (*online*). Dilansir dari KPAI, pada tahun 2011-2016 terdapat 1809 kasus eksploitasi anak *online*. Data kepolisian juga menyatakan dari tahun 2016-2018 terdapat 1127 kasus eksploitasi seksual pada anak yang diantaranya juga menggunakan sarana media digital. Dilansir dari ECPAT Indonesia, terdapat 150 kasus eksploitasi seksual pada anak di Indonesia pada tahun 2018, yang 28% diantaranya merupakan kasus pornografi anak.

Kasus eksploitasi anak online ini dapat berbentuk *sexting*(pertukaran pesan atau gambar seksual), *grooming* (bujuk rayu untuk tujuan seksual), dan *streaming* (kekerasan seksual anak yang disiarkan secara langsung melalui internet).

Eksploitasi seksual pada anak berakibat panjang dan memberikan dampak yang serius khususnya bagi kesehatan mental anak-anak, kesehatan fisik, dan perkembangan diri. Bukti menunjukkan bahwa eksploitasi seksual dapat menyebabkan berbagai masalah jangka panjang termasuk melukai diri sendiri (*self-harm*), gangguan makan, depresi, dan gangguan stres *post-trauma*. Eksploitasi seksual dapat terjadi pada anak manapun, tetapi pelaku sering menargetkan anak yang ‘rentan’, misalnya anak-anak yang memiliki kehidupan keluarga yang sulit, NAPZA, masalah alkohol, atau masalah belajar. Kekerasan dan eksploitasi pada anak juga akan mengurangi kesempatan mereka untuk bereksplorasi dan mengekspresikan diri. Padahal, masa kanak-kanak merupakan periode emas dalam tumbuh kembang seorang manusia.

Rumah Faye sadar akan maraknya kasus-kasus eksploitasi dan perdagangan anak. Oleh karena itu, kami berdiri sebagai organisasi yang mempunyai visi untuk membebaskan anak Indonesia dari perdagangan, kekerasan, dan eksploitasi. Upaya tersebut diwujudkan dengan penyelenggaraan 3 program utama kami yaitu pencegahan, pembebasan, dan pemulihan. Pencegahan adalah program dimana Rumah Faye akan memberikan sosialisasi langsung kepada masyarakat luas, khususnya anak-anak, terkait kesadaran akan isu perdagangan anak dan kekerasan seksual. Pembebasan merupakan program Rumah Faye untuk mengeluarkan anak korban perdagangan dan eksploitasi seksual dari kekerasan yang menjerat mereka. Kemudian, program pemulihan bertujuan untuk menyediakan tempat yang aman bagi anak. Termasuk di dalamnya, menyediakan layanan konseling, pendidikan, dan keterampilan hidup untuk para korban perdagangan anak dan anak-anak korban kekerasan seksual. Dengan dilaksanakannya program-program tersebut, diharapkan angka eksploitasi, kekerasan, dan perdagangan anak dapat menurun.

Langkah kepedulian selalu dapat dimulai dari diri kita sendiri. Ada beberapa cara yang dapat kita lakukan untuk turut serta menghentikan maraknya isu eksploitasi seksual:

- Pelajari dan pahami bahayanya perdagangan, eksploitasi, dan kekerasan seksual pada anak.
- Bagi orang tua, ajarkan kepada anak soal pendidikan seks, kesehatan reproduksi, dan keamanan berinternet sejak dini agar mereka mengerti, tahu segala konsekuensi, dan dapat terlindungi.
- Laporkan ke pihak berwajib bila terjadi eksploitasi dan kekerasan pada anak.
- Jadikan media sosial sebagai wadah untuk meningkatkan kesadaran publik terhadap masalah eksploitasi dan kekerasan pada anak.
- Memberi donasi ke lembaga-lembaga yang mempunyai konsentrasi pada upaya penghentian kekerasan anak.

Perlu diingat bahwa kekerasan pada anak, eksploitasi seksual, perdagangan anak bukanlah hal-hal yang dapat musnah dalam sehari. Butuh kepedulian, keberanian, dan aksi. Setiap langkah kecil yang kita lakukan untuk berusaha menghentikan masalah ini perlu diapresiasi. Maka dari itu, mari kita bersama-sama berjuang demi anak negeri.

Sumber:
- Kemenpppa, 2019. Buku Panduan Terminologi Perlindungan Anak dari Eksploitasi oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Jakarta: Kemenpppa.
- [Pace UK. 2020. The impact of child sexual exploitation.](https://paceuk.info/about-cse/the-impact-of-child-sexual-exploitation/)
- [The Children Society. 2020. What do you need to know about CSE.](https://www.childrenssociety.org.uk/what-we-do/helping-children/help-us-stop-child-sexual-exploitation-cse/what-do-you-need-know-about-cse)
- [The NSPCC. 2020. Child sexual exploitation.](https://www.nspcc.org.uk/what-is-child-abuse/types-of-abuse/child-sexual-exploitation/)

Eksploitasi.jpg

Everything we need to know about child sexual exploitation

Semua Hal yang Perlu Kita Ketahui tentang Maraknya Eksploitasi Seksual pada Anak

As a result of this COVID-19 pandemic, millions of people across the country have been told to work from home in the name of public safety and security. The government has strongly recommended everyone to participate in social distancing. There have been multiple social and economic consequences as a result of the pandemic - employees have been fired without notice, with many more on unpaid leave. Many individuals acting as their family’s primary breadwinners have found themselves jobless, unable to support their loved ones.

The high-stress atmosphere compounded with economic pressures has caused another threat to arise - domestic violence. Despite safety from COVID-19 in quarantine, the pandemic has caused a spike in domestic abuse throughout Indonesia. Komnas Perempuan’s annual records in 2019 showed that 75.4% of cases of violence against women occurred in the home. Which means that the perpetrators are primarily those closest to them.

The hashtag #DiRumahAja is no doubt a blessing to many privileged citizens. However, this situation isn’t easy to face for many victims of domestic abuse. While for many of us the home is a place of safety and comfort, many victims of domestic violence view it as a prison they are unable to escape. In this sense, the home becomes a dark space of hurt rather than security. The patriarchal culture present in Indonesia means that many husbands are expected to take on any economic burdens the family faces. Men, who are presumed to be financially independent or the primary breadwinner of the family, may feel like they’ve failed when they’ve lost this role. The sudden lack of a job, which could happen to anyone, makes many men feel ashamed, vulnerable, and hopeless. This is an example of toxic masculinity, wherein men are given a set of expectations and are rarely (if ever) allowed to express themselves. This harmful culture means, instead of healthily releasing their emotions, many men turn to violence as a way to come to terms with their emotions. This, many times, is the beginning of a case of domestic violence. 

Many women who become victims of this abuse also become susceptible to this cycle abuse. Some marry or date abusers if the relationship ends, believing they are ‘undeserving’ of a healthy relationship. Others become abusers themselves. Many children growing up around the violence also begin to mimic the violence they encounter at home. Due to economic pressures, these actions/behaviours are unlikely to change. 

The current pandemic has called for an essential self-quarantine. However, it is crucial to remember that not everyone has the privilege to self-quarantine or be safe in their quarantine. Victims of domestic violence who could escape their abuser for a few hours a day are now unable to leave. Our thoughts are with the victims of domestic abuse across Indonesia during this time of #DiRumahAja.

Source : [detik.com](https://news.detik.com/kolom/d-4955408/perempuan-korban-kekerasan-dan-karantina-mandiri)

Rumah seharusnya menjadi tempat teraman di tengah merebaknya virus corona jenis baru atau Covid-19. Pemerintah menghimbau masyarakat untuk berdiam diri di rumah atau pembatasan sosial. Tujuannya tak lain demi kesehatan dan keselamatan. Pandemi corona tidak hanya mengancam kesehatan dan nyawa manusia, tetapi juga turut memberi tekanan sosial dan ekonomi. Sebagian perusahaan bahkan telah memecat karyawan tanpa pesangon. Situasi krisis adalah tantangan berat untuk keluarga yang menggantungkan pendapatan pada satu orang pencari nafkah utama. Hal tersebut memungkinkan terjadi tindak kekerasan lantaran tekanan atas kebutuhan ekonomi disatukan dengan tingkat stres tinggi karena terjebak di rumah. Catatan tahunan Komnas Perempuan, sepanjang 2019 sebesar 75,4% kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi di ranah personal. Artinya, kasus kekerasan terhadap perempuan paling banyak terjadi di dalam rumah dan pelakunya adalah pihak terdekatnya.

Aktivitas #DiRumahAja barangkali berkah untuk masyarakat kelas menengah atas ber-privilege, tapi situasi ini tidak mudah dihadapi perempuan korban kekerasan. Jika rumah bagi banyak orang sebagai tempat pulang dan tempat paling nyaman, bagi perempuan korban kekerasan rumah bukan tempat aman. Rumah tidak selalu berarti tempat perlindungan; bagi banyak orang, rumah justru tempat paling mencekam. Kultur patriarki yang terbiasa memotret laki-laki sebagai sosok yang harus menanggung nafkah keluarga menjadi sumber kerentanan. Laki-laki, yang dipersepsi harus selalu sukses secara finansial atau mandiri secara ekonomi, berpotensi merasa sangat gagal ketika kehilangan kuasanya, dalam konteks ini adalah pekerjaan. Kehilangan pekerjaan, yang seharusnya merupakan siklus yang dapat menimpa siapa saja, dalam kultur patriarki menyebabkan laki-laki mengalami tambahan perasaan malu, terpuruk, bahkan kehilangan perasaan sejati. Inilah siklus yang bernama toxic masculinity atau maskulinitas beracun. Laki-laki yang merasa gagal jarang berekspresi lewat keluhan atau tangisan. Patriarki tidak menerima laki-laki yang mengeluh atau menangis, sehingga laki-laki menyalurkan perasaan tak berdaya lewat kemarahan dan kekerasan kepada lingkungan sekitarnya. Inilah awal mula rantai kekerasan dalam rumah tangga.

Perempuan korban, pada akhirnya bertahan dalam siklus kekerasan, dan kelak akan mewariskan siklus kekerasan yang sama kepada anak-anaknya, sebab faktor ekonomi. Situasi pandemi yang mengakibatkan status karantina mandiri ini jelas bukan kabar baik bagi korban kekerasan dalam rumah tangga. Korban mau tidak mau bertemu seharian untuk rentang waktu yang belum pasti bersama pelaku kekerasan dan tak boleh sebentar saja melarikan diri. Semoga para perempuan mendapat ruang aman mereka selama #DiRumahAja.

Sumber : [detik.com](https://news.detik.com/kolom/d-4955408/perempuan-korban-kekerasan-dan-karantina-mandiri)

3731.jpg

COVID-19 and Domestic Violence

Covid-19 dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Over the last couple of days, we’ve been hearing the term being thrown around constantly. What is panic buying anyway? Panic buying is a group behaviour in which customers buy a product in irregular amounts, usually in anticipation of a disaster. This causes both a shortage in the product and an inflated price. 

With the stress of COVID-19, we’ve all heard the stories of people rushing into grocery shops, cleaning toilet paper and food from the shelves. 

Let’s take a step back. 

Theoretically, this behaviour sort of makes sense. After all, these new circumstances mean that we have to adapt our behaviours. So what? Problem is, everyone is thinking the exact same thing!


The shortages of food and other products are caused by adding just ‘a few’ extra things into our shopping carts, overwhelming stores and creating havoc amongst customers. While the ‘few’ things you put into your cart may seem unimportant, the increased demand and desperation drives others to buy more than you and so on. 

I’m sure most of us have seen those photos of empty shelves and videos of people fighting over food. This coverage of (usually smaller supermarkets) generates panic, convincing us there is a problem with the supply of food. People start buying more, and even worse, travelling to other stores to buy their groceries. 

Panic buying stems for our own uncertainty and anxiety of the situation we face. We feel we need to prepare for a situation that, most times, we don’t understand well enough. You might think panic buying will make you feel better, but it does the opposite! As you fuel your panic, you may grow to be more anxious and continue on habits that are destructive to both you and your community. 

It becomes a bigger problem when shoppers begin to hoard medical essentials that would be better used by health professionals who need them. Doctors and nurses on the front line are far more exposed to COVID-19 than most of us. With consumers buying N95 masks that, let’s be honest, will mostly go unused, most hospitals are facing dire shortages that could have extremely negative consequences. Healthcare workers would lessen, their families would be at risk, and many patients wouldn’t have the access to the care they deserve. 

Don’t forget that panic buying also largely affects low-resource communities that are already unfairly targeted by day-to-day issues, such as transportation and income. 

If I leave you with one thing amidst this pandemic, remember this: 

“If you want to go fast, go alone. If you want to go far, go together.”

During this pandemic, I hope we can survive together so Indonesia can flourish.

Selama beberapa hari terakhir, kita banyak mendengar istilah ini terus digunakan. Apa itu panic buying? Panic buying adalah perilaku kelompok dimana konsumen membeli suatu produk dalam jumlah banyak, biasanya untuk mengantisipasi bencana. Hal ini menyebabkan ketersediaan barang menipis dan harga yang meningkat.

Sebagai akibat dari pandemik, COVID-19, kita semua sudah membaca berita atau mungkin melihat sendiri orang-orang yang bergegas ke toko dan mengosongkan semua rak.

Secara teori, perilaku semacam ini masuk akal. Masa pandemik ini memaksa kita mengubah perilaku kita, ini berarti bahwa kita harus menyesuaikan perilaku kita. Terus kenapa? Ya, masalahnya, semua orang memikirkan hal yang sama persis!
Kelangkaan bahan makan dan produk lainnya terjadi karena kita  menambahkan hanya 'beberapa' barang tambahan ke dalam keranjang belanjaan, membuat toko kewalahan, dan menciptakan kekacauan di antara para konsumen. Meskipun 'beberapa' barang yang kita masukkan ke dalam troli tampak tidak penting, nyatanya peningkatan permintaan dan keputusasaan mendorong orang lain untuk membeli lebih banyak daripada kita beli dan seterusnya.

Saya yakin sebagian besar dari kita sudah melihat foto-foto rak kosong dan video orang-orang yang antre di supermarket dengan banyak troli. Foto-foto (yang biasanya dari supermarket) ini menimbulkan kepanikan dan meyakinkan kita bahwa ada masalah dengan persediaan makanan. Orang-orang mulai membeli lebih banyak, dan lebih buruk lagi, bepergian ke toko lain untuk membeli bahan makanan mereka. Ini berdampak buruk pada banyak teman-teman yang tidak bisa membeli apapun karena ditimbun sama orang lain.

Panic buying berasal dari ketidakpastian dan kecemasan kita sendiri dari situasi yang dihadapi. Kita merasa perlu mempersiapkan diri untuk situasi yang, seringkali, belum kita pahami sepenuhnya. Kita pikir panic buying membuat perasaan lebih baik karena ada persiapan, tetapi itu sebaliknya! Ketika kita merespon kepanikan dengan berbelanja sembarangan, kita bisa tambah cemas lagi dan malahan membuat kebiasaan baru yang destruktif bagi diri sendiri dan orang disekeliling kita.

Ini menjadi masalah yang lebih besar ketika pembeli mulai menimbun kebutuhan medis yang sangat dibutuhkan oleh para profesional kesehatan. Dokter dan perawat di garis depan jauh lebih rentan dengan COVID-19 daripada kebanyakan dari kita. Akibat dari konsumen yang membeli masker N95 yang, jujur ​​saja, sebagian besar tidak akan digunakan sebagaimana mestinya, banyak rumah sakit mengalami kekosongan stok masker yang pada akhirnya menimbulkan konsekuensi yang sangat negatif. Petugas kesehatan akan berkurang, keluarga mereka akan berisiko, dan banyak pasien tidak memiliki akses ke perawatan yang layak mereka dapatkan.

Jangan lupa bahwa panic buying juga mempengaruhi mayoritas komunitas dengan sumber daya rendah; yang sehari-harinya saja sudah disulitkan dengan isu pendapatan dan transport. 

Jika saya boleh menitipkan satu hal di tengah pandemi ini, ingat ini:

"Jika kamu ingin pergi cepat, pergi sendiri. Jika Anda ingin pergi jauh, pergi bersama. ”

Selama pandemi ini, saya berharap kita bisa bertahan hidup bersama sebagai komunitas atau masyarakat sehingga Indonesia dapat terus berkembang.

panic buying.jpg

What’s the deal with panic buying?

Apa masalahnya panic buying?

The COVID-19 pandemic has forced everyone, from babies to grandparents to stay home. Many parents, in turn, have been given a new challenge: thinking of ways to entertain the kiddos at home! 

Here are some little tips we collected that might be useful for you and your children during this trying time. We hope that, while at home, everyone can still participate in fun and healthy activities that are beneficial to child growth and development!

1. Remember that every child will have different responses to the pandemic. Make sure you take the time to give them love and attention while patiently explaining the COVID-19 situation. 
2. Don’t forget to ask for your child’s opinion! Whether it’s their fears, thoughts, or even prospective solutions, every child has wonderful ideas to communicate. Initiate a healthy dialogue with your child and invite them to think critically!
3. Be with your children throughout the day. The situation is scary, and they will need you. Ensure they are healthy and make sure they move around!
4. Have a daily routine! Mix it up and add some fun activities to make sure your child is not bored. Encourage them to play and come up with their own games. 
5. Be straight-forward. Explaining a pandemic to a child is not easy. Regardless, if they don’t understand, they won’t be cautious. Maintain a discussion so they can ask you questions about the situation.

Children are easily bored without activities and commonly depend on attending school to meet up with friends. They will struggle with stress and loneliness, so parents must be ready to open their doors and spend time with them! We hope these tips will be useful. We are thinking of you at Rumah Faye. Stay safe, and keep fighting!

Sumber: [KemenPPPA](https://bit.ly/tooltipscovid19)


Pandemi infeksi virus corona atau COVID-19 membuat semua orang harus berdiam di rumah, mulai dari orangtua hingga anak-anak. Para orangtua pun memutar otak untuk mencari aktivitas anak yang menyenangkan dan antibosan, namun tetap memberikan manfaat untuk tumbuh kembang anak. Berikut beberapa tips yang bisa dilakukan oleh orang tua agar anak tidak jenuh saat pandemi Covid-19. 

1. Setiap anak berbeda dalam merespon jenuh dalam situasi khusus seperti saat ini. Tanggapi reaksi anak dengan cara yang supportif dan beri  mereka kasih sayang dan perhatian yang lebih.
2. Jangan lupa untuk mendengarkan pendapat anak, ajak berbicara dan dialog. Jika memungkinkan, beri kesempatan pada anak untuk bermain dan bersantai.
3. Tetap berada disamping anak, jika mereka harus berada dalam kondisi tidak boleh berinteraksi (dalam karantina), tetap jaga komunikasi dan selalu hibur mereka.
4. Buatlah jadwal kegiatan rutinitas sehari-hari bersama anak dan untuk menghilangkan rasa jenuh buatlah sebuah kegiatan baru dan ajak anak bermain bersama.
5. Certakan kepada anak-anak apa yang sebenarnya terjadi, jelaskan apa yang terjadi saat ini dan berikan mereka informasi yang jelas dan mudah dimengerti.

Anak-anak memang rentan bosan berada di rumah tanpa kegiatan, betapa tidak bila tiap harinya ia berada di sekolah dan berjumpa dengan teman-temannya. Saat seperti inilah peran orang tua sangat dituntut agar tidak membuat anak mengalami stress dan jenuh di rumah. Itulah beberapa tips yang bisa orang tua lakukan untuk membuat anak tidak jenuh selama pandemi Covid-19. Semoga bermanfaat.

Sumber: [KemenPPPA](https://bit.ly/tooltipscovid19)

family.jpg

Tips to make sure your kids aren’t bored of #dirumahaja during COVID-19

Tips membuat anak tidak jenuh #dirumahaja saat pandemi Covid-19

On July 11th, 2019, one of the members of Youth Team Rumah Faye, Schalke Anindya, attended a consultative meeting with the United Nations, which was held in the Jakarta-based United Nations office located in Menara Thamrin, Jakarta and was moderated by one of the representatives from UN. The meeting itself was titled as the consultative meeting in preparation of the new United Nations Partnership Development Framework (UNPDF) for the period 2021 – 2025. This new framework will emphasize on UN’s engagement in Indonesia that reflects their responses towards our national priorities. They believe that youths have a significant role in assisting and contributing to the United Nations agenda in responding to national issues that take place in all areas. 

The meeting lasted for approximately 90 minutes, where the topics discussed were revolving around issues or urgencies that youths encounter on a daily basis. It was started off by self-introduction and mentioning which organization does each delegate represent; all attendees of the meeting represent organisations of multiple fields that come from varying areas in Indonesia. After that, the delegates were required to mention as many things that they are glad, sad and mad about in Indonesia. There were many “glad’s”, yet more “sad’s” and “mad’s” were voiced. Multiple issues were brought to attention, such as environmental issues, corruption rate, human capital issues, lack of education, difficult access to healthcare and poor social facilities. 

Towards the end of the meeting, the United Nations representative stated that from the previous meeting that was held, they had cut down all these numerous issues that were mentioned into 8 main challenges. The challenges are persistent poverty and inequality; food insecurity; equality of women and violence against women; human capital for economic transformation; natural resources and biodiversity management; climate change and natural disasters; rising intolerance; inclusive, effective and transparent government. To wrap up the meeting, each of the delegate was given 3 votes to choose the most significant and urgent matters that need to be addressed.

Pada tanggal 11 Juli 2019, salah satu anggota Youth Team Rumah Faye, Schalke Anindya, menghadiri sebuah rapat konsultatif dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang diadakan di kantor PBB Jakarta yaitu di Menara Thamrin, Jakarta dan dimoderasi oleh perwakilan dari PBB. Rapat tersebut diberi judul “the consultative meeting in preparation of the new United Nations Partnership Development Framework (UNPDF) for the period 2021 – 2025.” Inti dari rapat ini adalah untuk menekankan partisipasi PBB di Indonesia yang mencerminkan respon mereka terhadap prioritas nasional. Mereka percaya bahwa anak-anak muda memiliki peran yang signifikan dalam membantu dan berkontribusi terhadap agenda PBB dalam merespon terhadap isu-isu nasional yang terjadi di segala bidang.

Rapat tersebut berjalan selama sekitar 90 menit, dan topik-topik yang diangkat adalah seputaran isu dan masalah yang ditemukan oleh anak-anak muda dalam sehari-hari. Dimulai dengan perkenalan diri dan menyebutkan organisasi yang diwakilkan; seluruh peserta rapat merupakan perwakilan dari organisasi-organisasi dari berbagai bidang yang hadir dari beberapa daerah di Indonesia. Selanjutnya, para delegasi diharapkan untuk menyebutkan hal-hal yang mereka merasa senang, sedih dan marah tentang Indonesia. Ada banyak hal yang mereka merasa senang, namun lebih banyak sedih marahnya. Untuk itu, ada beberapa isu yang diberi perhatian, seperti isu lingkungan, tingkat korupsi, isu modal manusia, kurangnya pendidikan, kesulitan untuk mengakses fasilitas kesehatan, dan fasilitas social yang lemah. 

Menuju akhir dari rapat, perwakilan PBB menyebutkan bahwa dari rapat sebelumnya yang pernah diadakan, mereka telah meminimalkan isu-isu yang telah disebutkan tersebut menjadi 8 tantangan utama. Tantangan-tantangan tersebut adalah kemiskinan dan ketimpangan yang terus-menerus; kerawanan pangan; kesetaraan perempuan dan kekerasan terhadap perempuan; modal manusia untuk transformasi ekonomi; pengelolaan sumber daya alam dan keanekaragaman hayati; perubahan iklim dan bencana alam; meningkatnya intoleransi; pemerintah yang inklusif, efektif dan transparan. Untuk mengakhiri rapat, masing-masing delegasi diberikan 3 suara untuk memilih hal-hal paling penting dan mendesak yang perlu ditangani. 

PHOTO-2019-07-11-16-13-14.jpg

The Consultative Meeting in Preparation of The New United Nations Partnership Development Framework (UNPDF) for the period 2021 – 2025

Sexist Teachers? The Condition of Indonesian Teachers

Every child has rights protected by the state. In Indonesia, children have the rights to be able to live, grow, develop, and participate with dignity, while receiving protection from violence and discrimination (Article 4 of Law 23 of 2002). 

However, these rights are rarely fulfilled for children in Indonesia, many are unaware of their rights and thus face verbal, physical, or emotional abuse. A recent case involves a girl (AR) who attends Samba High School, Riau Islands. At school, AR was called a "lonte" (meaning whore) by her religion teacher (SK) in front of her friends and teaches on her way out of class. The incident embarrassed AR, bringing her to tears on the way home. AR's mother, enraged at the teacher’s actions, went to school to understand the incident. Unfortunately, the teacher (SK) did not show remorse, going so far as to threaten to expel AR from the school. As a result of this incident, AR was bullied by her peers and did not want to go to school.

The actions of this teacher counts as a form of verbal sexual violence against women. According to the Oxford Advanced Learner's Dictionary, sexism is defined as the unfair treatment of people, especially women, on the basis of sex. The term "lonte" culturally contains a sexually suggestive undertone, entirely inappropriate to be used in daily conversation, not to mention towards young women under the age of 18. The word intended to demean someone's dignity, while suggesting that a certain norm for the role of women. 

We often encounter these sexist terms in everyday life. Its emergence is inseparable from the patriarchal construction of gender roles and only serve to reinforce the idea that women must be ‘pure’. Patriarchal culture expects women to be obedient, gentle, merciful, patient, and have feminine qualities. Words like “lonte” forces negative stereotypes, so that when a woman does not fulfill the qualities above, she can be labeled and alienated. In contrast, we rarely find sexual insults against men. 

It’s horrifying that a teacher, who is expected to prepare students for the future, would be so ignorant of a child’s rights. Cases like these may hamper the fulfillment of AR's rights as a child to get an education. There is no justification to the teacher's actions. Violent practices such as bullying and sexism like this must be eliminated, especially in the school environment because school is where humanity is formed. It is time for schools to ensure child protection without discrimination by focusing on the fulfillment of children's rights as stipulated in Law No. 23 of 2002 concerning Child Protection.

[Linayanti](https://www.instagram.com/linayanti_lina)

Setiap anak memiliki hak-hak yang dilindungi oleh negara. Anak mempunyai hak untuk dapat hidup tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 4 UU 23 Tahun 2002). Namun nampaknya hal ini belum dirasakan oleh semua anak-anak di Indonesia. Salah satunya yang menimpa anak perempuan (AR) yang bersekolah di salah satu SMA Sambas, Kepulaun Riau. Saat itu AR diteriaki “lonte” oleh guru agamanya (Sk) di hadapan teman-temannya dan juga guru-gurunya ketika Ia pulang sekolah. Kejadian tersebut membuat AR malu dan menangis di perjalanan. Ibu AR yang tidak terima anaknya dipermalukan kemudian mendatangi sekolah, namun sayangnya respon guru (Sk) tidak menunjukkan penyesalan, bahkan guru (SK) mengancam akan mengeluarkan AR dari sekolah. Atas kejadian tersebut AR kerap dibully oleh teman-temannya hingga stres dan tidak ingin sekolah.

Apa yang dilakukan oleh guru (SK) merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual verbal terhadap perempuan atau seksisme. Menurut Oxford Advanced Learner’s Dictionary, seksisme didefinisikan sebagai perlakukan tidak adil pada seseorang, terutama perempuan, karena jenis kelaminnya. Umpatan kata “lonte” mengandung ucapan kotor yang bernada seksual. Kata tersebut senada dengan pelacur, jalang, sundal, dan wanita nakal yang ditujukan untuk merendahkan martabat seseorang dan mewajarkan sikap atau tindakan seorang perempuan yang tidak sesuai dengan norma.  Ucapan-ucapan atau kata-kata seksis ini sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Kemunculannya tidak terlepas dari konstruksi patriarki di mana stereotip-stereotip ini sering kali dilekatkan pada perempuan. Budaya patriarki menempatkan karakter perempuan dengan sifat-sifat penurut, lemah lembut, penyayang, penyabar, dan mengharuskan untuk feminim, sehingga ketika seorang perempuan tidak memenuhi unsur di atas akan dicap sebagai perempuan nakal, perempuan tidak baik, pelacur, lonte, dst. Hal ini akan berbeda jika dialami oleh laki-laki, kita jarang menemukan umpatan bernada seksual terhadap laki-laki. 

Selain itu, jika dilihat dari perspektif anak apa yang dilakukan guru Sk telah melanggar hak-hak anak. Guru yang seharusnya memberikan perlindungan kepada anak-anaknya dan memastikan anak didiknya aman, justru melakukan kekerasan. Hal tersebut berdampak pada terhambatnya pemenuhan hak AR sebagai anak untuk mendapatkan pendidikan. Tidak ada alasan yang dapat membenarkan tindakan guru tersebut. Praktik-praktik kekerasan seperti bullying, seksisme seperti ini harus dihapuskan apalagi di lingkungan sekolah karena sekolah merupakan tempat kemanusiaan itu dibentuk. Sudah saatnya sekolah memastikan perlindungan anak tanpa diskriminasi dengan memfokuskan pada pemenuhan hak-hak anak sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

[Linayanti](https://www.instagram.com/linayanti_lina)

Everything we need to know about child sexual exploitation

COVID-19 and Domestic Violence

What’s the deal with panic buying?

Tips to make sure your kids aren’t bored of #dirumahaja during COVID-19

The Consultative Meeting in Preparation of The New United Nations Partnership Development Framework (UNPDF) for the period 2021 – 2025

Sexist Teachers? The Condition of Indonesian Teachers

Media Press

Don't miss a life, subscribe today

T

M

E