Eksploitasi anak merujuk pada suatu tindakan penggunaan anak untuk manfaat orang lain, kepuasan atau keuntungan yang sering mengakibatkan perlakuan tidak adil, kejam, dan berbahaya terhadap anak. Penjelasan Pasal 13 ayat (1) huruf b UU Perlindungan Anak menyebutkan bahwa perlakuan eksploitasi meliputi perbuatan yang bertujuan memperalat, memanfaatkan, atau memeras anak untuk keuntungan pribadi, keluarga, atau golongan. Secara umum, terdapat dua bentuk eksploitasi anak yang diakui.
Penyusun: Patricia Cindy Andriani
Penyunting: Rheka Rizqiah Ramadhani, Nadia Amani Alya
Penerjemah: Clarissa Cita Magdalena, Hasna Fatina Sakinah Abdul Kadir
Eksploitasi Anak Secara Umum
Eksploitasi anak merujuk pada suatu tindakan penggunaan anak untuk manfaat orang lain, kepuasan atau keuntungan yang sering mengakibatkan perlakuan tidak adil, kejam, dan berbahaya terhadap anak. Penjelasan Pasal 13 ayat (1) huruf b UU Perlindungan Anak menyebutkan bahwa perlakuan eksploitasi meliputi perbuatan yang bertujuan memperalat, memanfaatkan, atau memeras anak untuk keuntungan pribadi, keluarga, atau golongan. Secara umum, terdapat dua bentuk eksploitasi anak yang diakui yaitu:
Menurut ECPAT Internasional, eksploitasi seksual anak adalah pelanggaran dasar terhadap hak asasi anak yang terdiri dari kekerasan seksual oleh orang dewasa dan pemberian imbalan uang atau sesuatu yang dinilai dengan uang di mana anak dijadikan objek seks serta objek komersial. Dalam penjelasan Pasal 66 UU Perlindungan Anak disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “dieksploitasi secara seksual” adalah segala bentuk pemanfaatan organ seksual atau organ lain anak untuk mendapatkan keuntungan, tetapi tidak hanya pada kegiatan pelacuran dan pencabulan.
Dalam berbagai instrumen HAM saat ini, eksploitasi seksual anak dikelompokkan lagi ke dalam lima bentuk tindak pidana yaitu:
Tindakan menawarkan layanan atau pelayanan langsung seorang anak untuk melakukan tindakan seksual demi uang atau imbalan lain.
Pertunjukan apapun termasuk foto, visual, audio, tulisan atau dengan cara lain yang melibatkan anak dalam aktivitas seksual.
Proses perekrutan, penampungan, dan penerimaan anak untuk tujuan eksploitasi seksual.
Eksploitasi seksual terhadap anak oleh orang yang melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain. Seringkali melibatkan penggunaan berbagai layanan akomodasi, transportasi, dan pariwisata yang dapat memfasilitasi kontak dengan anak. Hal tersebut memungkinkan pelaku untuk tetap tidak terlihat di masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Perkawinan yang melibatkan anak dan remaja di bawah usia 18 tahun dapat dianggap sebagai bentuk eksploitasi jika seorang anak digunakan untuk tujuan seksual guna memperoleh barang atau pembayaran berupa uang atau jasa.
Lalu, bentuk kejahatan terbaru adalah eksploitasi seksual online anak (online sexual exploitation of child/OSEC). OSEC adalah semua tindakan eksploitasi seksual yang dilakukan terhadap anak secara online meliputi: grooming, sextortion, sexting, child sexual abuse material (CSAM), dan siaran langsung kekerasan seksual terhadap anak.
Perlu dipahami pula bahwa eksploitasi berbeda dengan kekerasan. Eksploitasi anak terjadi dalam bentuk tindak kekerasan di mana pelakunya bertujuan untuk memperoleh keuntungan komersial/ekonomi. Pada kasus eksploitasi anak, anak bukan hanya objek seks tetapi juga komoditas untuk memperoleh uang, barang, atau jasa bagi pelaku dan orang-orang lain yang terlibat.
Secara prinsip, setiap anak berhak dilindungi dari eksploitasi dalam bentuk apapun yang merugikannya. Hal tersebut merupakan kewajiban orang tua, wali, atau pihak lain seperti pemerintah dan lembaga negara terkait. Prinsip ini telah diterima baik melalui instrumen hukum internasional (Konvensi Hak Anak) maupun instrumen hukum nasional (UU Perlindungan Anak) serta peraturan lainnya.
Seputar Fakta Eksploitasi Anak di Indonesia
Menurut Data Kasus Pengaduan Anak 2016-2020 yang dimuat KPAI dalam situs resminya, terdapat 29 kasus prostitusi anak, 23 kasus eksploitasi seks komersial anak (ESKA), 54 kasus eksploitasi pekerja anak, 11 kasus adopsi ilegal, serta 4 kasus rekrutmen seks komersial anak (muncikari).
Lebih lanjut, KPAI mencatat 35 kasus eksploitasi seksual, perdagangan anak, dan pekerja anak selama periode Januari-April 2021. Dari jumlah tersebut, 60% di antaranya dilakukan secara online di mana aplikasi MiChat menjadi media yang paling banyak dipakai (41%). Kemudian, posisinya diikuti oleh WhatsApp (21%) dan Facebook (17%).
Dalam pelaksanaan perlindungan anak, penegak hukum memastikan korban memperoleh keadilan dan pemulihan. Beberapa Undang-Undang yang sering digunakan, antara lain :
Pelaporan Kasus dan Penegakan Hukum
Pelaporan Kasus kepada Kepolisian atau Lembaga Pendukung Lainnya
Ketika seorang anak menjadi korban eksploitasi seksual dan/atau ekonomi, maka keluarganya dapat melaporkan kasus tersebut kepada polisi. Selain itu, kasus juga dapat dilaporkan ke lembaga pemerintah yang bertanggung jawab di bidang perlindungan anak dan pemberdayaan perempuan serta lembaga swasta yang menangani masalah perlindungan anak.
Korban, kerabat, dan siapa pun yang pernah mengalami, melihat/menyaksikan adanya dugaan tindak pidana eksploitasi anak dapat melaporkannya kepada pihak kepolisian di semua tingkat (Mabes Polri, Polda, Polres dan Polsek). Pihak yang bermaksud melapor dapat segera menuju ke bagian Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu untuk menyampaikan laporan atau menghubungi Call Center Polri 110 yang menerima laporan selama 24 jam, 7 hari dalam seminggu.
Selanjutnya, kepolisian terlebih dahulu akan melakukan penyidikan untuk menentukan apakah perbuatan yang dilaporkan tersebut tindak pidana atau bukan. Apabila perbuatan yang dilaporkan terbukti memenuhi unsur tindak pidana, maka penyidik kepolisian/wakilnya akan melakukan proses penyidikan berdasarkan laporan polisi dan Surat Perintah Penyidikan.
Sejak tahun 2007, Kepolisian RI telah membentuk Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) yang bertugas memberikan pelayanan dalam bentuk perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan serta penegakan hukum bagi pelakunya. Petugas Unit Penyidik di bawah UPPA ini akan melakukan penyelidikan dan penyidikan pelaku kejahatan terhadap perempuan dan anak. Saat korban dan/atau saksi melaporkan kasus eksploitasi anak, mereka harus ditempatkan pada ruang pemeriksaan khusus (RPK). Jika korban dan/atau saksi dalam keadaan trauma/stres, penyidik wajib membawanya ke P2TP2A atau rumah sakit terdekat untuk ditangani sebelum melanjutkan wawancara.
Lembaga Pendukung Lainnya
Jika korban enggan melaporkan kasus eksploitasi anak ke polisi karena trauma, malu, takut, dan tidak nyaman maka korban dapat melaporkannya ke lembaga pendukung lain yang bertanggung jawab untuk melindungi anak dan perempuan baik pemerintah maupun swasta, di antaranya:
P2TP2A baik di tingkat Pusat, Provinsi, maupun Kabupaten/Kota hadir untuk memberikan pelayanan terpadu kepada saksi dan korban tindak pidana eksploitasi anak. Tujuannya adalah mendapatkan layanan pengaduan/identifikasi, rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, bantuan hukum, dan reintegrasi sosial sebagaimana diatur dalam Pasal 20 PP No. 78/2021.
Korban dapat langsung menghubungi P2TP2A setempat untuk melaporkan kasus eksploitasi anak. Selain pengaduan korban, P2TP2A juga dapat menindaklanjuti penanganan kasus perdagangan anak dari proses rujukan atau melalui penjangkauan. Selanjutnya, P2TP2A akan mengurus proses identifikasi korban yang meliputi: screening, assessment, dan rencana intervensi sesuai kebutuhan. P2TP2A juga akan meneruskan kasus yang dilaporkan ke polisi untuk diproses secara hukum dan memberikan bantuan kepada korban mulai dari perlindungan, proses pelaksanaan BAP penyelidikan dan penyidikan di kepolisian, proses penuntutan di kejaksaan hingga proses pemeriksaan di sidang pengadilan. Ini termasuk bantuan hukum untuk memperoleh ganti rugi yang diproses oleh kepolisian seperti kerugian materil dan non materil yang diderita korban, dikumpulkan serta dilampirkan ke dalam berkas perkara.Rumah Faye sendiri memiliki program pembebasan untuk anak korban perdagangan manusia, di mana kegiatannya meliputi: menerima rujukan kasus dan korban melalui kerjasama dan koordinasi antara pemerintah, LSM dan aparat penegak hukum; mendampingi korban di dalam proses hukum, seperti penerimaan laporan/pengaduan, asesmen korban, pendampingan proses BAP, mediasi, gelar perkara (jika dibutuhkan), pendampingan proses visum, penanganan kasus, pendampingan korban dalam memberikan kesaksian di pengadilan dan monitoring jalannya kasus hingga putusan kasus; dan melakukan asesmen lapangan ke kantor-kantor polisi dan wilayah rentan.
Tahap Penyidikan oleh Kepolisian
Setelah Surat Perintah Penyidikan diterbitkan, maka kepolisian akan membuat Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). SPDP ini kemudian dikirimkan ke jaksa penuntut umum, pelapor/korban, dan terlapor dalam waktu maksimal 7 hari setelah diterbitkan Surat Perintah Penyidikan. Dalam proses penyidikan ini, kepolisian akan meneliti dan mengumpulkan bukti-bukti atas kasus eksploitasi anak melalui pemeriksaan tersangka, penangkapan, penahanan, pemeriksaan saksi, pemeriksaan ahli, dan tindakan lain sesuai kebutuhan.
Kemudian, penyidik akan membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan-tindakan tersebut dan menyerahkan berkas perkara pada jaksa penuntut umum untuk dilanjutkan ke tahap penuntutan. Apabila proses penyidikan dianggap telah selesai, maka tersangka beserta barang bukti akan diserahkan juga ke jaksa penuntut umum.
Tahap Penuntutan oleh Kejaksaan
Setelah menerima berkas perkara dari penyidik, jaksa penuntut umum akan meneliti berkas tersebut beserta barang bukti yang diberikan. Apabila dinilai ada kekurangan, maka jaksa penuntut umum harus memberikan petunjuk kepada penyidik untuk memperbaiki dan/atau melengkapi hasil penyidikannya. Selanjutnya, jaksa penuntut umum membuat surat dakwaan dan melimpahkan perkara ke pengadilan. Pada tahap penuntutan ini, jaksa harus menyampaikan hak-hak korban.
Tahap Pemeriksaan di Sidang Pengadilan oleh Majelis Hakim
Setelah berkas perkara dilimpahkan oleh jaksa penuntut umum ke pengadilan negeri, maka majelis hakim akan memeriksa dan memutus perkara dalam sidang pengadilan. Pada prinsipnya, hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila terdapat minimal 2 alat bukti secara sah yang diyakini hakim bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwa bersalah.
Keterangan ahli menjadi alat bukti yang penting dalam kasus eksploitasi anak. Hal tersebut disebabkan oleh kesulitan untuk membuktikan kesalahan pelaku–dugaan anak menawarkan diri dalam layanan seksual karena dorongan ekonomi, misalnya pelacuran anak.
Sidang tindak pidana eksploitasi anak untuk memeriksa saksi dan/atau korban dilakukan dalam sidang tertutup demi melindungi kepentingan terbaik anak. Mereka wajib didampingi orang tua, wali, orang tua asuh, advokat, atau pendamping lainnya.
Pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban anak dalam sidang pengadilan harus dilakukan tanpa kehadiran terdakwa. Selain itu, pemeriksaan atas persetujuan hakim juga dapat dilakukan di luar sidang pengadilan dengan perekaman. Selama proses, jaksa tidak memakai toga atau seragam dinas.
Beberapa lembaga yang berperan dalam proses pemulihan korban, baik di lingkup pemerintah maupun swasta, di antaranya:
DP3AP2KB, yang dibentuk di setiap tingkatan kabupaten/kota, berfungsi melaksanakan pendataan dan pelaporan terhadap kasus-kasus perdagangan anak dan melaksanakan koordinasi dengan pihak-pihak terkait mengenai rujukan penanganan kasus perdagangan anak termasuk upaya pemulihan korban. Khususnya dalam hal pemulihan korban, DP3AP2KB akan melakukan asesmen terkait kebutuhan korban dalam pemulihan, untuk kemudian mengkoordinasikannya dengan kepala dinas/UPTD/P2TP2A untuk memberikan layanan yang sesuai kepada korban.
Proses Pemulangan Korban
Selain rehabilitasi dan bantuan hukum, P2TP2A juga membantu proses pemulangan korban dari luar negeri ke provinsi maupun dalam negeri ke daerah asal atau keluarga atau keluarga pengganti, atas keinginan dan persetujuan korban, atau dari dalam negeri ke negara asal dengan tetap mengutamakan pelayanan perlindungan dan pemenuhan kebutuhannya. P2TP2A melakukan pendampingan terhadap korban yang sudah mendapatkan layanan dan akan dipulangkan ke keluarga maupun keluarga pengganti. Apabila korban berasal dari negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia, maka P2TP2A perbatasan setelah serah terima dari perwakilan RI di luar negeri, korban akan diberikan pelayanan rehabilitasi dan/atau bantuan, untuk setelahnya dipulangkan ke daerah asal, melalui koordinasi dengan instansi terkait.
Proses Reintegrasi Sosial Korban
Proses terakhir dari layanan yang diberikan oleh P2TP2A untuk korban adalah proses reintegrasi sosial, di mana korban disatukan kembali dengan keluarga atau keluarga pengganti serta diupayakan agar korban dapat diterima kembali oleh keluarga dan masyarakatnya. Dalam proses ini termasuk di dalamnya adalah pemberdayaan ekonomi dan sosial serta pembekalan keterampilan agar dapat menghasilkan secara ekonomi, serta diberikan pendidikan untuk korban yang masih bersekolah dan terputus karena menjadi korban serta adanya monitoring/bimbingan lanjutan, serta home visit untuk memonitor kondisi korban setelah proses penyatuan dengan keluarga.
Hak-Hak Korban (dan/atau Saksi) dalam Proses Hukum
Sehubungan dengan proses hukum yang sedang berjalan, anak memiliki hak-hak yang diatur dalam Pasal 5 UU No. 13/2006 sebagai berikut:
Hak-hak di atas akan diberikan kepada korban dan/atau saksi tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK.
Di samping itu, korban dan/atau saksi yang merasa dirinya berada dalam posisi sangat terancam dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan atas persetujuan hakim. Kesaksian diberikan secara tertulis yang disampaikan di hadapan pejabat berwenang atau melalui sarana elektronik dengan didampingi pejabat berwenang.
Korban, saksi, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.
Hak-Hak Korban Pasca Proses Hukum
Kompensasi adalah ganti rugi yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memenuhi tanggung jawabnya kepada korban atau keluarganya. Permohonan diajukan secara tertulis kepada pengadilan hak asasi manusia melalui LPSK (Pasal 2 PP No. 7/2018).
Restitusi berbeda dengan kompensasi, di mana restitusi adalah ganti rugi yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) PP No. 43/2017, setiap anak korban tindak pidana (termasuk eksploitasi ekonomi dan/atau seksual) berhak atas restitusi. Restitusi berupa: (a) ganti kerugian atas kehilangan kekayaan; (b) ganti kerugian atas penderitaan sebagai akibat tindak pidana; dan/atau (c) penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis.
Permohonan restitusi diajukan oleh korban, baik sebelum maupun setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Adapun permohonan yang diajukan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap dapat melalui LPSK.
Sebelum putusan pengadilan, permohonan harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermaterai pada tahap penyidikan atau penuntutan. Permohonan juga dapat diajukan melalui LPSK paling lama tiga hari setelah pemberitahuan mengenai hak anak yang menjadi korban tindak pidana oleh penyidik atau jaksa penuntut umum. Selanjutnya, penyidik atau penuntut umum mengkaji kembali permohonan restitusi. Apabila sudah lengkap, maka penuntut umum akan mencantumkan permohonan restitusi dalam tuntutannya.
Dalam waktu 7 hari sejak diterimanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, penuntut umum akan menyampaikan salinan yang memuat pemberian restitusi kepada pelaku dan korban. Pelaku wajib memberikan restitusi kepada korban paling lama 30 hari setelah menerima salinan kemudian melaporkannya kepada pengadilan dan kejaksaan.
Korban berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, dan pemulangan atau reintegrasi sosial dari pemerintah apabila mengalami penderitaan fisik atau psikis akibat tindak pidana eksploitasi. Hak atas rehabilitasi ini diajukan oleh korban atau keluarga korban, teman korban, kepolisian, relawan pendamping atau pekerja sosial setelah melaporkan kasus. Permohonan rehabilitasi kemudian diteruskan oleh polisi ke lembaga terkait seperti DP3AP2KB, P2TP2A dan LSM pemulihan korban.
Dalam proses perlindungan hukum atau pemenuhan hak anak korban eksploitasi, terdapat beberapa tantangan yang dihadapi baik internal maupun eksternal.
Maya (bukan nama sebenarnya), belum genap 10 tahun ketika dia tertangkap mencuri uang sebesar Rp 5.000.000, di sebuah ruko. Maya kemudian dibawa ke kantor polisi setempat. Karena usianya yang masih anak, polisi langsung mempercayakan Maya ke P2TP2A untuk mendapatkan pemulihan. Berdasarkan hasil asesmen yang dilakukan terhadap Maya, dia mencuri karena disuruh oleh bapak kandungnya. Setiap pagi, Maya harus keluar rumah untuk mencuri dan membawa hasil curiannya tersebut kepada orang tuanya demi membiayai kehidupan mereka. Bapak Maya tidak memiliki pekerjaan tetap, sehingga mereka selalu berada di dalam garis kemiskinan. Berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan polisi dan juga asesmen tersebut, maka P2TP2A dan kepolisian menyatakan Maya sebagai korban eksploitasi anak. Selanjutnya P2TP2A merujuk Maya ke Rumah Faye untuk mendapatkan pemulihan.
Rumah Faye kemudian menerima Maya untuk tinggal di rumah aman dan menjalani Program Pemulihan. Hal pertama yang dilakukan oleh Rumah Faye adalah melihat kronologis kasus dan hasil asesmen awal yang telah dilakukan. Berdasarkan hasil tersebut, maka yang dilakukan oleh Rumah Faye adalah melakukan asesmen lanjutan terkait dengan kondisi klien yang belum berhasil didapatkan dari proses asesmen sebelumnya. Kemudian, melakukan pemeriksaan secara fisik dan psikis.
Berdasarkan hasil asesmen lanjutan dan pemeriksaan, diketahui bahwa Maya mengalami eksploitasi ekonomi. Selama setahun, Maya dipaksa untuk mencuri setiap hari oleh bapaknya sehingga itu menjadi bagian rutin di dalam hidupnya. Rumah Faye menyadari bahwa langkah pemulihan yang diambil tidak akan berhasil jika pihak keluarga tidak mendukung Maya untuk pulih kembali. Akhirnya, Rumah Faye melaporkan bapak kandung Maya ke kepolisian.
Berdasarkan investigasi yang dilakukan oleh polisi, diketahui bahwa Maya memiliki satu adik dan satu kakak. Mereka tidak memiliki saudara lain yang bisa memberikan pengasuhan kepada adiknya yang masih kecil tersebut. Jika kasusnya dilanjutkan sampai penegakan hukum, maka dapat dipastikan bahwa adik dan kakak Maya akan kehilangan orang tua. Namun di lain pihak, bapak kandung Maya telah melakukan eksploitasi. Akhirnya yang dilakukan oleh kepolisian dan disepakati oleh Rumah Faye adalah dengan menggunakan jalur mediasi.
Hasil dari mediasi itu adalah, Maya akan mendapatkan layanan Program Pemulihan dari Rumah Faye. Orang tua akan mendapatkan layanan konseling sekaligus juga melakukan kunjungan dan pertemuan dengan Maya untuk memberikan pengasuhan dan menjelaskan bahwa tindakan mencuri merupakan perbuatan yang salah, tidak boleh dilakukan, dan melanggar hukum. Kunjungan dan pertemuan mingguan yang dilakukan oleh orang tua Maya sifatnya wajib dilakukan secara intensif selama kurun waktu tertentu.
Selama di dalam rumah aman, Maya mendapatkan berbagai layanan yang dia butuhkan. Maya belajar membaca, menulis, merajut, melakukan konseling mingguan, dan banyak lagi aktivitas positif lainnya. Maya juga belajar menyesuaikan diri untuk menjadi anak sesuai dengan usianya. Setelah kurun waktu tertentu, Program Pemulihan untuk Maya berakhir dan dia siap di reintegrasi ke pihak keluarga.
Selama tiga bulan sejak Maya di reintegrasi, Rumah Faye melakukan proses monitoring untuk memantau perkembangan dari Maya. Selain itu, Rumah Faye juga memberikan bantuan sembako rutin kepada pihak keluarga.
Melawan perdagangan, kekerasan, dan eksploitasi terhadap anak
Kantor Jakarta
Sopo Del Office Tower & Lifestyle Tower A Lt.9 Jl. Mega Kuningan Barat Lot.10,1-6 Kuningan Timur, Setiabudi, Jakarta Selatan 12950
Kantor Batam
Komplek Ruko Citra Nusa Niaga (CNN) Blok. B3 No.6 Kawasan Industri, Jl. Hang Kesturi, Kabil, Nongsa, Batam City, Riau Islands 29467
Hubungi Kami