Pendahuluan
Kekerasan seksual terhadap anak merupakan kejahatan luar biasa. Itu sebabnya Indonesia melakukan amandemen UU Perlindungan Anak melalui UU No. 35/2014 yang mengatur tentang perlindungan anak dari kekerasan seksual. Data yang dikeluarkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada Januari hingga Juli 2020 menunjukkan 2.556 anak menjadi korban kekerasan seksual. Data yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan pada tahun 2020 juga menyatakan bahwa 55% kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan dan anak perempuan adalah kasus kekerasan seksual.
Meskipun telah ada UU yang mengatur kekerasan seksual terhadap anak, namun tidak mengurangi angka kekerasan yang terjadi terhadap anak. Berdasarkan kasus yang ditangani oleh Rumah Faye, terdapat peningkatan sebanyak dua kali lipat untuk kasus kekerasan terhadap anak dibandingkan tahun 2019. Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya kekerasan terhadap anak yaitu kemiskinan, tingkat pendidikan rendah, tata ruang yang buruk, pandemi yang menyebabkan orang harus tetap berada di dalam rumah dan faktor lainnya.
Oleh karena itu, pengetahuan tentang kekerasan seksual, memberikan perlindungan anak dari kekerasan seksual, memberikan akses keadilan bagi korban merupakan hal yang perlu diketahui oleh semua pihak baik itu anak, keluarga, masyarakat, pemerintah dan aparat penegak hukum.
Undang-Undang
- Undang-Undang Dasar 1945
- Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak)
- Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Pengesahan Optional Protocol to the Convention of the Rights of the Child on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography (Protokol Opsional Konvensi Hak Anak mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak dan Pornografi Anak
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of all Forms of Discrimination Against Women) (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3277)
- Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
- Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
- Undang-Undang 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
- Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
- Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
- Undang-Undang Nomor 17 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Dalam pelaksanaan perlindungan anak, penegakan hukum, memastikan anak korban kekerasan seksual mendapatkan keadilan dan pemulihan bagi korban; terdapat tiga Undang-Undang yang sering digunakan yaitu:
- Undang-Undang No. 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak Pasal 1, Pasal 9, Pasal 15, Pasal 20, Pasal 22, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 54, Pasal 59, Pasal 64, Pasal 71, pasal 76, Pasal 81
- KUHP Pasal 287, Pasal 288, Pasal 291 Pasal 289, Pasal 292, Pasal 293, Pasal 294, Pasal 295, Pasal 298
- Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 27, Pasal 46, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
- Undang-Undang No. 11 Tahun 2011 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 18, Pasal 19
Lembaga - Pelaporan Kasus dan Penegakan Hukum
Ketika seseorang menjadi korban kekerasan seksual, maka dia dapat melaporkan kasusnya kepada:
- POLSEK/POLRES/POLRESTA/POLDA
Kepolisian merupakan aparat penegak hukum untuk menerima laporan kasus untuk kemudian dilakukan investigasi dan menentukan pelaku tindak pidana kekerasan seksual untuk kemudian dilanjutkan di tingkat kejaksaan hingga tahap pengadilan. Kepolisian akan melakukan pengumpulan barang bukti, mengumpulkan kesaksian korban dan saksi, menangkap pelaku dan kemudian menyerahkan berkas perkara kepada kejaksaan.
Seringkali ditemukan bahwa korban tidak berani untuk melakukan pelaporan langsung kepada kepolisian. Hal ini disebabkan karena trauma yang dialaminya. Korban sering merasa malu, kotor dan tidak berharga. Oleh karena itu, korban dapat melakukan pelaporan kepada orang atau Lembaga yang dirasa nyaman oleh korban. oleh karena itu selain kepolisian, korban dapat melaporkan kasusnya kepada:
- Keluarga
- RT/RW
- Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak (P2TP2A)
- Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah (KPPAD)
- Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang fokus pada isu perlindungan anak
Setiap orang atau Lembaga yang mengetahui atau mendapatkan laporan terjadinya kasus kekerasan seksual khususnya terhadap anak wajib untuk menindaklanjuti laporan tersebut ke aparat penegak hukum dalam hal ini kepolisian terdekat.
Setiap anak yang menjadi korban kekerasan khususnya kekerasan seksual berhak untuk mendapatkan pendampingan sehingga hak-haknya tetap terjamin sebagai anak. P2TP2A dan LSM sering ditunjuk untuk bertugas memberikan pendampingan korban dalam proses membuat laporan, pemeriksaan di kepolisian dan kesaksian di pengadilan.
Setelah kepolisian menentukan pelaku dan semua berkas telah dianggap cukup. Maka ada dua Lembaga yang bertanggungjawab untuk memastikan keadilan bagi korban, yaitu:
- Kejaksaan
Kejaksaan bertugas untuk memeriksa semua berkas perkara untuk memastikan bahwa semua bukti, keterangan saksi, korban dan pelaku sesuai dengan pasal yang dikenakan bagi pelaku. Setelah semua dianggap sesuai, kemudian jaksa akan menyerahkan berkasnya kepada pengadilan untuk dilakukan proses persidangan. - Pengadilan Negeri
Tugas pokok pengadilan negeri adalah menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku. Pada kasus kekerasan seksual terhadap anak, tugas dari pengadilan negeri untuk menjalankan proses peradilan sesuai dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2011 dengan memastikan identitas korban tetap terlindungi.
Lembaga - Pemulihan Korban
- Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB).
Berfungsi sebagai koordinator dalam mekanisme rujukan pemulihan bagi korban. DP3AP2KB melakukan assessment terkait kebutuhan korban dalam pemulihan untuk kemudian mengkoordinasikan kepada dinas/UPTD terkait untuk memberikan layanan kepada korban seperti layanan shelter, rumah aman, psikolog dan pemenuhan hak korban lainnya yang perlu diberikan karena hak-haknya setelah menjadi korban hilang. - Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak, yang selanjutnya disebut (P2TP2A).
Selain bertugas mendampingi korban dalam penanganan kasus, P2TP2A juga memberikan layanan rumah aman, shelter bagi korban dan layanan lainnya seperti pemulihan psikis dan fisik. P2TP2A berkoordinasi dengan DP3AP2KB terkait dengan layanan pemulihan lanjutan yang dibutuhkan bagi korban. Kebutuhan pemulihan yang diperlukan diketahui dengan mekanisme assessment korban.
- Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Terdapat LSM yang fokus pada perlindungan anak yang memiliki program pemulihan bagi korban. Layanan yang diberikan antara lain konseling, pemulihan fisik, rumah aman, shelter, beasiswa Pendidikan bagi korban hingga proses reintegrasi sosial.
Hak-Hak Korban
- Hak mendapatkan keadilan
Anak yang menjadi korban kekerasan seksual berhak mendapatkan keadilan dengan memastikan bahwa kasusnya ditindaklanjuti. Setiap orang yang mengetahui dan melihat kekerasan yang dialami oleh korban wajib menginformasikan kepada aparat penegak hukum untuk menindak pelaku dan memastikan bahwa korban terlindungi. Aparat penegak hukum kemudian menindaklanjuti kasusnya hingga proses pengadilan untuk kemudian pelaku dihukum atas tindakan kekerasan yang telah dilakukannya.
- Hak atas perlindungan.
Setiap anak yang menjadi korban berhak mendapatkan perlindungan dari proses penegakan hukum yang berlangsung atas kasusnya seperti:- Melindungi identitas korban khususnya di dalam pemberitaan di media massa dan lingkungan sekitarnya
- Melindungi korban dari ancaman-ancaman yang muncul karena penegakan hukum kasusnya
- Melindungi dan memastikan korban untuk tetap terus mendapatkan hak-haknya sebagai anak.
- Hak mendapatkan pemulihan
Anak korban kekerasan seksual berhak mendapatkan pemulihan akibat dari kekerasan seksual yang dialaminya. Anak korban kekerasan seksual kerap mengalami trauma secara psikis dan fisik. Ketika keselamatan anak tidak terjamin keselamatan ketika proses penegakan hukum, maka pemerintah wajib memberikan perlindungan sepenuhnya untuk korban dan bantuan pemulihan akibat trauma yang dialaminya.
Tantangan - Proses Penegakan Hukum
Seringkali ada penolakan dari keluarga korban, tetangga atau RT/RW untuk melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialami oleh korban karena berbagai seperti seperti:
- Penolakan untuk mendengarkan informasi korban oleh keluarga atau masyarakat sekitar untuk melaporkan kasus kekerasan seksual karena merasa hal ini adalah aib keluarga yang tidak perlu disebarkan ke orang lain dan pelaku adalah tulang punggung ekonomi keluarga.
- Adanya ancaman kepada korban dan keluarganya dari orang terdekat pelaku untuk mencabut laporan kasus kekerasan seksual yang terjadi.
Sedangkan di dalam proses pemeriksaan, tantangan yang seringkali dihadapi adalah:
- Keterangan keluarga korban/pelaku dalam memberikan keterangan karena ada rasa ketakutan ancaman karena kasus ini dilanjutkan di tingkat kepolisian
- Dana visum yang terkadang sering dibebankan kepada korban
- Kurangnya penyediaan anggaran untuk penanganan kasus bagi korban khususnya untuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus seperti psikologi forensic, pendamping anak profesional sampai penyediaan konsumsi bagi korban selama proses penyidikan.
- Masih minimnya pelayanan perlindungan bagi korban dan saksi dari ancaman-ancaman keluarga pelaku.
Tantangan - Proses Pemulihan Korban
Meski Indonesia telah memiliki berbagai Undang-Undang yang menjamin perlindungan korban khususnya untuk pemulihan, namun pelaksanaan pemulihan masih banyak memiliki kendala antara lain:
- Sebagian besar Rumah aman atau shelter yang dimiliki oleh pemerintah di tingkat kota atau kabupaten hanya menyediakan layanan selama dua minggu bagi korban untuk tinggal sehingga diperlukan penyediaan layanan lanjutan bagi korban, terlebih lagi jika pelaku adalah keluarga dekat seperti ayah kandung atau ayah tiri sehingga ada ancaman terhadap korban karena penolakan dari keluarga
- Kurangnya tenaga ahli di daerah khususnya bagi tenaga psikolog yang memiliki pengalaman dalam menangani korban. Rata-rata korban kekerasan seksual membutuhkan layanan psikologi secara intensif setidaknya selama enam bulan untuk memastikan bahwa korban dapat melewati masa traumanya.
- Ancaman kehilangan hak Pendidikan bagi korban terutama untuk korban yang mengalami kehamilan seringkali mendapatkan penolakan dari sekolah karena dianggap sebagai aib dan memberikan pengaruh buruk bagi siswa lainnya di sekolah tersebut.
- Masih kurangnya pelayanan pemberdayaan ekonomi bagi keluarga korban, terutama untuk pelaku merupakan tulang punggung keluarga korban.
Pengalaman Rumah Faye
Sejak tahun 2016 Rumah Faye telah menangani kasus sebanyak 105 kasus dengan korban sebanyak 136 korban yang terdiri dari anak dan perempuan. Mayoritas yang didampingi Rumah Faye adalah kasus kekerasan seksual. Pada tahun 2018 Rumah Faye mendampingi anak perempuan berumur 11 tahun yang mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh ayah tiri selama 4 tahun lamanya, kondisi korban saat itu sangatlah memprihatinkan, korban dipukul, diberikan makanan ikan dan sering kali dikurung di kandang anjing. Karena kejadian tersebut korban mengalami gizi buruk, dengan berat badan yang hanya 10 kg, kami membantu korban tersebut dari pendampingan BAP di kepolisian, pemulihan dengan melakukan konseling rutin, memberikan layanan psikiater, persidangan, hingga monitoring pasca pemulihan. Hampir 8 bulan lamanya Rumah Faye mendampingi korban tersebut di Rumah Aman hingga akhirnya ia bisa kembali ke keluarganya dengan rasa tenang tanpa takut adanya ancaman dari pihak/keluarga pelaku.
Rata-rata korban kekerasan seksual yang Rumah Faye damping berumur 4 hingga 16 tahun dan pelaku rata-rata berasal dari orang terdekat keluarga seperti ayah kandung, ayah tiri, dan paman. Selain bekerja sama dengan kepolisian/penyidik, kami juga kerap berkomunikasi langsung dengan jaksa yang menangani kasus korban di pengadilan dan rata-rata pelaku tersebut divonis 12 hingga 18 tahun penjara. Banyak juga tantangan dan hambatan yang Rumah Faye alami dan rasakan dalam mendampingi kasus tersebut, seperti stigma buruk terhadap korban, penolakan dari keluarga yang memihak ke pelaku, adanya ancaman dari keluarga pelaku, korban yang berhenti sekolah, korban yang mengalami gangguan psikis yang berkepanjangan hingga korban yang dikucilkan oleh masyarakat. Meski seperti itu Rumah Faye tetap berdiri tegak melawan untuk mencegah kekerasan terhadap anak dan perempuan.