Perdagangan orang (human trafficking) berbeda dengan penyelundupan orang (people smuggling). Penyelundupan orang lebih menekankan pada pengiriman orang secara ilegal dari suatu negara ke negara lain yang menghasilkan keuntungan bagi penyelundup, dalam arti tidak terkandung adanya eksploitasi terhadapnya. Mungkin saja terjadi timbul korban dalam penyelundupan orang, tetapi hal itu lebih merupakan risiko dari kegiatan yang dilakukan dan bukan merupakan sesuatu yang telah diniatkan sebelumnya. Sementara pada perdagangan orang, sejak awal sudah terdapat tujuan, yaitu orang yang dikirim merupakan objek eksploitasi. Penipuan dan pemaksaan atau kekerasan merupakan unsur yang esensial dalam perdagangan orang.
Penyusun: Patricia Cindy Andriani
Penyunting: Rheka Rizqiah Ramadhani, Nadia Amani Alya
Penerjemah: Clarissa Cita Magdalena, Hasna Fatina Sakinah Abdul Kadir
Konsep dan Definisi Tindak Pidana Perdagangan Orang Secara Umum
Tindak pidana perdagangan orang merupakan kejahatan transnasional terorganisir (transnational organized crime) yang menjadi persoalan global serius karena rantai perdagangan yang semakin signifikan dari waktu ke waktu. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang merumuskan tindak pidana orang adalah:
“Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000 dan paling banyak Rp600.000.000.”
Perdagangan orang (human trafficking) berbeda dengan penyelundupan orang (people smuggling). Penyelundupan orang lebih menekankan pada pengiriman orang secara ilegal dari suatu negara ke negara lain yang menghasilkan keuntungan bagi penyelundup, dalam arti tidak terkandung adanya eksploitasi terhadapnya. Mungkin saja terjadi timbul korban dalam penyelundupan orang, tetapi hal itu lebih merupakan risiko dari kegiatan yang dilakukan dan bukan merupakan sesuatu yang telah diniatkan sebelumnya. Sementara pada perdagangan orang, sejak awal sudah terdapat tujuan, yaitu orang yang dikirim merupakan objek eksploitasi. Penipuan dan pemaksaan atau kekerasan merupakan unsur yang esensial dalam perdagangan orang.
Pada prinsipnya, perlu dipahami bahwa tindak pidana perdagangan orang meliputi 3 (tiga) unsur penting, yang berkaitan satu sama lain, yaitu:
Pemahaman dasar mengenai tindak pidana perdagangan orang ini penting untuk lebih lanjut memahami mengenai tindak pidana perdagangan yang terjadi pada anak serta kebijakan perlindungan hukum yang diterapkan pada anak.
Seputar Fakta Perdagangan Anak di Indonesia
UNICEF mencatat Indonesia sebagai salah satu negara sumber utama dan tujuan serta negara transit untuk memperdagangkan orang, khususnya anak-anak, untuk tujuan eksploitasi seksual dan pekerjaan, di mana diperkirakan sekitar 100.000 perempuan dan anak diperdagangkan dari Indonesia setiap tahun dan 40.000-70.000 di antaranya adalah anak-anak korban eksploitasi seksual. Data yang dicatat International Organization Migration (IOM) di Indonesia juga menyoroti meningkatnya jumlah korban perdagangan anak pada 2020 yakni 80% di antaranya dieksploitasi secara seksual.
Ironisnya, tingginya data kasus perdagangan anak di Indonesia tidak berbanding lurus dengan jumlah kasus yang dilaporkan maupun ditangani oleh aparat penegak hukum maupun lembaga-lembaga terkait. Menurut Data Kasus Pengaduan Anak Berdasarkan Klaster Perlindungan Anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Tahun 2016-2020, kasus anak sebagai korban perdagangan (trafficking) yang dilaporkan pada tahun 2016-2020 secara garis besar mengalami penurunan dari 72 kasus yang dilaporkan pada tahun 2016 hingga 28 kasus pada tahun 2020. Mantan Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, mengungkapkan dalam makalah untuk Seminar “Using DNA: Against Child Trafficking” bahwa termasuk dalam kategori negara dengan peringkat terendah dalam hal penanggulangan perdagangan wanita dan anak sebagaimana tercantum dalam Trafficking in Persons Report tahun 2001 yang dikeluarkan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat dan Komisi Ekonomi dan Sosial Asia Pasifik (Economy Social Commission on Asia Pacific/ESCAP). Indonesia dinilai belum menerapkan standar-standar minimum penanggulangan perdagangan wanita dan anak serta melakukan usaha yang berarti dalam penanggulangan tersebut.
Pemerintah berupaya memperbaiki usaha-usaha penanggulangan perdagangan wanita dan anak, khususnya anak, melalui diterbitkannya beberapa instrumen peraturan perundang-undangan, di antaranya: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, sehingga pada tahun 2003 peringkat Indonesia mengalami perbaikan. Adapun upaya ini didukung dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang pada bulan April 2007. Sebelum disahkannya UU TPPO tersebut, peraturan-peraturan yang berlaku saat itu belum dapat memadai untuk menanggulangi perdagangan anak, seperti misalnya Pasal 297 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur hukuman penjara yang sangat rendah bagi pelaku tindak pidana perdagangan orang, yaitu 0-6 tahun, lalu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga tidak mengatur sanksi bagi pelaku tindak pidana perdagangan orang, dan bahkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak mengatur mengenai perlindungan terhadap anak, namun tidak mengantisipasi tindak pidana perdagangan anak. Lebih lanjut, perlindungan terhadap korban tindak pidana perdagangan anak juga terakomodir dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Berbagai kebijakan hukum pemberantasan tindak pidana perdagangan anak maupun perlindungan bagi korban tindak pidana perdagangan anak ini perlu diketahui oleh semua pihak baik itu anak, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan aparat penegak hukum. Hal ini agar upaya penanggulangan perdagangan anak dapat dilaksanakan secara maksimal khususnya mendorong peningkatan pelaporan kasus perdagangan anak dan penyelesaiannya oleh aparat penegak hukum.
Dalam pelaksanaan perlindungan anak, penegak hukum memastikan anak korban tindak pidana perdagangan anak mendapatkan keadilan dan pemulihan bagi korban; terdapat beberapa Undang-Undang yang sering digunakan, di antaranya:
Pelaporan Kasus dan Penegakan Hukum
Pelaporan Kasus kepada Kepolisian atau Lembaga Pendukung Lainnya
Ketika seorang anak menjadi korban perdagangan manusia, maka anak maupun kerabatnya dapat melaporkan kasus tersebut kepada lembaga kepolisian, lembaga pemerintah yang membidangi perlindungan anak dan pemberdayaan perempuan, maupun lembaga swasta yang berfokus pada isu-isu perlindungan anak.
Lembaga Pendukung Lainnya
Apabila korban maupun kerabat enggan untuk melaporkan kasus perdagangan anak kepada kepolisian karena rasa trauma, malu, takut, dan tidak nyaman, maka korban maupun kerabat dapat melaporkannya kepada lembaga pendukung lainnya yang membidangi perlindungan anak dan perempuan baik di lingkup pemerintah maupun swasta, di antaranya:
Bagan 1. Mekanisme Pelayanan Terpadu P2TP2A
Pada tahap awal, korban anak maupun kerabat dapat langsung datang sendiri ke P2TP2A setempat untuk melaporkan kasus perdagangan anak. Selain laporan korban, P2TP2A juga dapat menindaklanjuti penanganan kasus perdagangan anak dari proses rujukan maupun melalui penjangkauan. Selanjutnya, P2TP2A akan melakukan proses identifikasi korban yang meliputi: screening, assessment, dan rencana intervensi sesuai dengan kebutuhan korban. Korban anak akan diminta mengisi screening form, yang mana standar formulir ini dibuat dengan memperhatikan prinsip penghormatan hak asasi manusia, menghindari bias gender, dan melaksanakan pemenuhan hak anak.
P2TP2A juga akan meneruskan kasus yang dilaporkan kepada kepolisian untuk diproses secara hukum dan memberikan bantuan hukum kepada korban mulai dari perlindungan saksi dan/atau korban, proses pelaksanaan BAP penyelidikan dan penyidikan di kepolisian, proses penuntutan di kejaksaan sampai proses pemeriksaan di sidang pengadilan. Termasuk di dalamnya bantuan hukum untuk memperoleh restitusi korban yang diproses oleh kepolisian meliputi kerugian materil dan non materil yang diderita korban, dikumpulkan serta dilampirkan bersamaan dengan berkas perkara.
Tahap Penyidikan oleh Kepolisian
Setelah Surat Perintah Penyidikan diterbitkan, maka kepolisian akan membuat Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (“SPDP”). SPDP ini kemudian dikirimkan ke jaksa penuntut umum, pelapor/korban, dan terlapor dalam waktu maksimal 7 (tujuh) hari setelah diterbitkan Surat Perintah Penyidikan. Dalam proses penyidikan ini, kepolisian akan meneliti dan mengumpulkan bukti-bukti atas kasus perdagangan anak melalui pemeriksaan tersangka, penangkapan, penahanan, pemeriksaan saksi, pemeriksaan ahli, dan tindakan-tindakan lainnya sebagaimana diperlukan. Penyidik juga diperbolehkan menyadap telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan tindak pidana perdagangan orang selama jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun, dengan memperoleh izin tertulis dari ketua pengadilan.
Kemudian, penyidik akan membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan-tindakan tersebut dan menyerahkan berkas perkara kepada jaksa penuntut umum untuk dilanjutkan ke tahap penuntutan. Apabila proses penyidikan dianggap telah selesai, maka tersangka beserta barang-barang bukti akan diserahkan juga ke jaksa penuntut umum.
Tahap Penuntutan oleh Kejaksaan
Setelah menerima berkas perkara dari penyidik, jaksa penuntut umum akan meneliti berkas tersebut beserta barang-barang bukti yang diberikan. Apabila dinilai ada kekurangan, maka jaksa penuntut umum akan memberikan petunjuk kepada penyidik untuk memperbaiki dan/atau melengkapi hasil penyidikannya. Selanjutnya, jaksa penuntut umum akan membuat surat dakwaan dan melimpahkan perkara ke pengadilan.
Dalam proses penuntutan kasus perdagangan anak, sebagaimana diamanatkan dalam Protokol Palermo yang dituangkan dalam Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B-185/EJP/03/2005 tentang Pola Penanganan Perkara Tindak Pidana Perdagangan Orang, jaksa penuntut umum tidak harus membuktikan unsur “cara” yang digunakan pelaku dalam tindak pidana perdagangan orang karena dalam kasus perdagangan anak, selama aktivitas perekrutan, pengangkutan dll, serta tujuan eksploitasi terpenuhi, maka pelaku sudah dapat dianggap terbukti melakukan tindak pidana perdagangan anak.
Tahap Pemeriksaan di Sidang Pengadilan oleh Majelis Hakim
Setelah berkas perkara dilimpahkan oleh jaksa penuntut umum ke pengadilan negeri, maka majelis hakim akan memeriksa dan memutus perkara dalam sidang pengadilan. Pada prinsipnya, hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila terdapat minimal 2 (dua) alat bukti yang sah yang diyakini hakim bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwa-lah yang bersalah melakukannya. Dalam kasus perdagangan anak, keterangan seorang saksi korban saja sudah membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan satu alat bukti yang sah lainnya.
Sidang tindak pidana perdagangan anak untuk memeriksa saksi dan/atau korban anak dilakukan dalam sidang tertutup demi melindungi kepentingan terbaik anak. Saksi dan/atau korban wajib didampingi orang tua, wali, orang tua asuh, advokat, atau pendamping lainnya. Pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban anak dalam sidang pengadilan juga harus dilakukan tanpa kehadiran terdakwa. Selain itu, pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban anak, atas persetujuan hakim, juga dapat dilakukan di luar sidang pengadilan dengan perekaman.
Beberapa lembaga yang berperan dalam proses pemulihan korban, baik di lingkup pemerintah maupun swasta, di antaranya:
DP3AP2KB, yang dibentuk di setiap tingkatan kabupaten/kota, berfungsi melaksanakan pendataan dan pelaporan terhadap kasus-kasus perdagangan anak dan melaksanakan koordinasi dengan pihak-pihak terkait mengenai rujukan penanganan kasus perdagangan anak termasuk upaya pemulihan korban. Khususnya dalam hal pemulihan korban, DP3AP2KB akan melakukan asesmen terkait kebutuhan korban dalam pemulihan, untuk kemudian mengkoordinasikannya dengan kepala dinas/UPTD/P2TP2A untuk memberikan layanan yang sesuai kepada korban.
Proses Pemulangan Korban
Selain rehabilitasi dan bantuan hukum, P2TP2A juga membantu proses pemulangan korban dari luar negeri ke provinsi maupun dalam negeri ke daerah asal atau keluarga atau keluarga pengganti, atas keinginan dan persetujuan korban, atau dari dalam negeri ke negara asal dengan tetap mengutamakan pelayanan perlindungan dan pemenuhan kebutuhannya. P2TP2A melakukan pendampingan terhadap korban yang sudah mendapatkan layanan dan akan dipulangkan ke keluarga maupun keluarga pengganti. Apabila korban berasal dari negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia, maka P2TP2A perbatasan setelah serah terima dari perwakilan RI di luar negeri, korban akan diberikan pelayanan rehabilitasi dan/atau bantuan, untuk setelahnya dipulangkan ke daerah asal, melalui koordinasi dengan instansi terkait.
Proses Reintegrasi Sosial Korban
Proses terakhir dari layanan yang diberikan oleh P2TP2A untuk korban adalah proses reintegrasi sosial, di mana korban disatukan kembali dengan keluarga atau keluarga pengganti serta diupayakan agar korban dapat diterima kembali oleh keluarga dan masyarakatnya. Dalam proses ini termasuk di dalamnya adalah pemberdayaan ekonomi dan sosial serta pembekalan keterampilan agar dapat menghasilkan secara ekonomi, serta diberikan pendidikan untuk korban yang masih bersekolah dan terputus karena menjadi korban serta adanya monitoring/bimbingan lanjutan, serta home visit untuk memonitor kondisi korban setelah proses penyatuan dengan keluarga.
Hak-Hak Korban (dan/atau Saksi) dalam Proses Hukum
Selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan/atau korban berhak didampingi oleh advokat dan/atau pendamping lainnya yang dibutuhkan. Pendamping lainnya antara lain psikolog, psikiater, ahli kesehatan, rohaniwan, dan anggota keluarga (Pasal 35 UU TPPO).
Korban berhak mendapatkan informasi tentang perkembangan kasus yang melibatkan dirinya. Informasi tentang perkembangan kasus ini dapat berupa pemberian salinan berita acara setiap tahap pemeriksaan atau resume hasil pemeriksaan pada tingkat penyidikan, dakwaan dan tuntutan, serta putusan pengadilan (Pasal 36 UU TPPO).
Saksi dan/atau korban berhak meminta kepada hakim ketua sidang untuk memberikan keterangan di depan sidang pengadilan tanpa kehadiran terdakwa. Pemeriksaan terdakwa dapat dilanjutkan setelah kepada terdakwa diberitahukan semua keterangan yang diberikan saksi dan/atau korban pada waktu terdakwa berada di luar ruang sidang pengadilan (Pasal 37 UU TPPO).
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap saksi dan/atau korban anak dilakukan dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak dengan tidak memakai toga atau pakaian dinas. Selain itu, sidang tindak pidana perdagangan orang untuk memeriksa saksi dan/atau korban anak dilakukan dalam sidang tertutup, tanpa kehadiran terdakwa (Pasal 38 dan 39 UU TPPO).
Hak-Hak Korban Pasca Proses Hukum
Kompensasi merupakan ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti rugi sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya kepada korban atau keluarganya. Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat (salah satunya, perdagangan anak) berhak memperoleh kompensasi. Permohonan untuk memperoleh kompensasi ini diajukan secara tertulis kepada pengadilan hak asasi manusia melalui LPSK (Pasal 2 PP No. 7/2018).
Restitusi berbeda dengan kompensasi, di mana restitusi merupakan ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Korban berhak mendapatkan restitusi berupa ganti kerugian atas: (a) kehilangan kekayaan atau penghasilan; (b) penderitaan; (c) biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau (d) kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang. Restitusi ini akan dicantumkan dalam amar putusan pengadilan sehingga terpidana wajib memberikan restitusi kepada korban sebagai bentuk pelaksanaan putusan pengadilan, dalam waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak diberitahukannya putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Apabila restitusi sudah diberikan kepada korban, maka pelaksanaannya harus dilaporkan kepada ketua pengadilan yang memutuskan perkara. Namun demikian, apabila terpidana belum memberikan restitusi dalam jangka waktu yang ditentukan, maka korban atau ahli warisnya dapat memberitahukan hal tersebut kepada pengadilan. Pengadilan akan memberikan peringatan tertulis kepada terpidana dan apabila masih tidak dipenuhi, pengadilan akan memerintahkan jaksa penuntut umum untuk menyita harta kekayaan terpidana dan melelang harta tersebut untuk pembayaran restitusi kepada korban (Pasal 48-50 UU TPPO).
Korban berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial dari pemerintah apabila korban mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis akibat tindak pidana perdagangan orang. Hak atas rehabilitasi ini diajukan oleh korban atau keluarga korban, teman korban, kepolisian, relawan pendamping atau pekerja sosial setelah korban melaporkan kasus yang dialaminya atau pihak lain melaporkannya kepada kepolisian. Permohonan untuk rehabilitasi kemudian diteruskan oleh kepolisian kepada instansi terkait seperti DP3AP2KB, P2TP2A, maupun LSM untuk pemulihan korban (Pasal 51-53 UU TPPO).
Dalam proses penegakan hukum kasus perdagangan anak, aparat penegak hukum lebih banyak menggunakan KUHP untuk menjerat pelaku perdagangan manusia, yang mana ancaman hukumannya sangat ringan dan tidak membuat efek jera bagi para pelaku. Sebenarnya Pasal 83 UU Perlindungan Anak telah mencantumkan larangan memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau dijual. Akan tetapi, sama halnya dengan KUHP, UU Perlindungan Anak juga tidak merinci apa yang dimaksud dengan perdagangan anak dan untuk tujuan apa anak itu dijual. Redaksional pasal yang belum sempurna ini seringkali menjadi celah dalam proses penegakan hukum yang menyebabkan pelaku perdagangan anak lolos dari jeratan hukum yang seharusnya diterima.
Perbedaan interpretasi terhadap korban dan lemahnya koordinasi antar penegak hukum serta isu korupsi dan kolusi menjadi tantangan dalam penegakan hukum kasus perdagangan anak. Hingga saat ini, belum tersedia mekanisme kontrol, pengawasan, dan penerimaan pengaduan baik internal maupun eksternal. Penegak hukum lebih sering memperlakukan korban sebagai pelaku tindak pidana dan terdapat kecenderungan yang menunjukkan bahwa korban tidak yakin akan reaksi penegak hukum terhadap peristiwa yang dialami korban atau korban takut tidak dipercaya.
Perbedaan interpretasi mengenai tindak pidana perdagangan orang di kalangan aparat penegak hukum disebabkan karena kurangnya pelatihan pada penegak hukum mengenai perdagangan manusia, ketiadaan prosedur baku yang khusus dirancang untuk menangani tindak pidana ini, sehingga sangat bergantung pada persepsi dan kemampuan individu penegak hukum. Seringkali terjadi kepolisian menghentikan penyidikan karena barang bukti dan keterangan saksi dianggap tidak cukup atau tidak valid. Selain itu, lemahnya koordinasi antar penegak hukum juga menghambat proses monitoring dan evaluasi penegakan hukum, di mana polisi tidak mengetahui hasil putusan hakim sehubungan dengan kasus-kasus yang diajukannya ke kejaksaan dan pengadilan atau kejaksaan tidak mengetahui hasil putusan pengadilan.
RPK khusus perempuan dan anak yang ada di kantor polisi juga belum digunakan secara maksimal oleh masyarakat. Masih banyak masyarakat yang belum terdorong mengadu ke RPK bila menjadi korban dari tindak pidana perdagangan orang. Apabila korban datang, mereka ingin segera pulang. Apabila RPK menahan korban lebih lama, maka diperlukan dana operasional untuk memberikan bantuan pendampingan, rehabilitasi, maupun layanan kepada korban, sedangkan dana belum dimasukkan dalam anggaran.
Masih rendahnya pemahaman dan kesadaran masyarakat mengenai tindak pidana perdagangan orang, khususnya anak, sehingga tidak tergerak untuk melaporkan kasus perdagangan orang kepada kepolisian.
Korban maupun keluarga korban seringkali menolak untuk melaporkan kasus perdagangan orang kepada aparat kepolisian maupun lembaga pendukung lainnya, termasuk memberikan informasi mengenai pelaku, dan bahkan cenderung melindungi pelaku. Hal ini dikarenakan baik keluarga korban maupun pelaku merasa hal tersebut adalah aib keluarga yang sebaiknya tidak perlu diketahui pihak lain atau adanya ancaman dari orang terdekat pelaku untuk tidak melaporkan atau mencabut laporan kasus perdagangan anak yang terjadi.
Sebagian besar rumah aman atau shelter yang dimiliki oleh pemerintah di tingkat kota atau kabupaten hanya menyediakan layanan selama 2 (dua) minggu bagi korban untuk tinggal sehingga diperlukan penyediaan layanan lanjutan bagi korban, terlebih lagi jika pelaku adalah keluarga dekat seperti ayah kandung atau ayah tiri sehingga ada ancaman terhadap korban karena penolakan dari keluarga. Selain itu, ketersediaan tenaga ahli di daerah khususnya tenaga psikolog yang memiliki pengalaman dalam menangani korban, juga masih kurang.
Ancaman kehilangan hak pendidikan bagi korban terutama untuk korban yang mengalami kehamilan seringkali mendapatkan penolakan dari sekolah karena dianggap sebagai aib dan memberikan pengaruh buruk bagi siswa lainnya di sekolah tersebut. Lalu, masih kurangnya pelayanan pemberdayaan ekonomi bagi keluarga korban, terutama apabila pelaku merupakan tulang punggung keluarga korban.
Sejak tahun 2016, Rumah Faye telah memberikan layanan pendampingan hukum, pemulihan dan reintegrasi kepada 160 korban. Berikut langkah-langkah layanan yang diberikan kepada korban.
Laporan atau rujukan korban
Kasus-kasus yang diterima oleh Rumah bersumber dari banyak sumber antara lain:
Di sisi lain Rumah Faye juga akan melihat apakah korban mengalami luka-luka atau tidak. Ketika terdapat luka-luka atau korban mengalami sakit, maka Rumah Faye akan segera membawa korban ke rumah sakit untuk mendapatkan layanan kesehatan segera.
Pendampingan Hukum
Proses pendampingan hukum yang diberikan oleh Rumah Faye adalah dengan:
Dalam proses penanganan kasus ini banyak tantangan yang dihadapi misalnya ancaman dari pelaku, terkadang proses penegakan hukum yang berjalan lambat dan lain sebagainya. Oleh karena itu, Rumah Faye bekerja sama dengan beberapa lembaga untuk memastikan pemenuhan keadilan bagi korban dapat ditegakkan.
Rumah Faye bekerja sama dengan P2TP2A Kota Batam dan provinsi Kepulauan Riau, LSM di kota batam seperti KKP PMP, Yayasan Embun Pelangi, LBH Mawar Sharon, LPSK, dan lainnya. Ketika korban diancam oleh pelaku ataupun kelompok yang tidak ingin penegakan hukum berjalan sehingga keamanan dan keselamatannya terancam, Rumah Faye memberikan layanan.
Pemulihan
Rumah Faye memberikan layanan bagi korban dengan dua model pemulihan yaitu:
Untuk memaksimalkan layanan yang diberikan, Rumah Faye bekerja sama dengan banyak pihak antara lain: Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Batam dan Provinsi Kepulauan Riau, Dinas Sosial Kota Batam, Puskesmas, Rumah Sakit Elisabeth Kota Batam, LSM seperti KKP PMP, Yayasan Embun Pelangi, Lintas Nusa, P2TP2A Kota Batam dan Provinsi Kepulauan Riau.
Pada dasarnya pemulihan yang terbaik bagi korban adalah ketika mereka bersama dengan keluarga yang dapat melindungi mereka. Oleh sebab itu, ketika korban berada di bawah lindungan keluarga yang cukup baik, maka Rumah Faye memberikan pelayanan berupa pemulihan di luar shelter dengan hal yang kami lakukan adalah:
Reintegrasi sosial korban/penyintas.
Ketika penyintas sudah selesai tahap pemulihannya dan siap untuk berada di tengah-tengah masyarakat. Rumah Faye melakukan langkah-langkah penyatuan penyintas dengan keluarga/atau wali yang akan menerima. Apabila korban/penyintas tidak memiliki keluarga/atau wali untuk pulang, Rumah Faye akan bekerja sama dengan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan korban.
Melawan perdagangan, kekerasan, dan eksploitasi terhadap anak
Kantor Jakarta
Sopo Del Office Tower & Lifestyle Tower A Lt.9 Jl. Mega Kuningan Barat Lot.10,1-6 Kuningan Timur, Setiabudi, Jakarta Selatan 12950
Kantor Batam
Komplek Ruko Citra Nusa Niaga (CNN) Blok. B3 No.6 Kawasan Industri, Jl. Hang Kesturi, Kabil, Nongsa, Batam City, Riau Islands 29467
Hubungi Kami