Menghapus Stigma Korban Kekerasan Seksual

Kasus kekerasan seksual melibatkan dua pihak, yaitu pelaku dan korban. Namun, korban kekerasan seksual seringkali menjadi sasaran pengucilan masyarakat. Cap negatif selalu disematkan pada dirinya. Apalagi, bila kasus tersebut sudah dikenal oleh khalayak ramai. Kata ‘nakal’ atau ‘pembangkang’ seringkali terucap dari mulut ke mulut. Padahal, dengan lekatnya label tersebut, korban jadi memiliki lebih banyak rasa takut. Tidak hanya beban, tetapi proses pemulihan pun menjadi lamban. Jadi sekarang, tindakan apa yang harus kita lakukan untuk menghapus stigma pada korban?

Dukungan kepada korban untuk pulih dan bangkit kembali dari kelamnya asumsi publik dapat direalisasikan melalui berbagai aksi. Perlawanan demi penghapusan tuntas stigma yang beredar terdiri atas berbagai langkah. Namun, gerakan mendasar yang mampu kita lakukan adalah edukasi diri. Hal ini dapat dimulai dari menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti apa itu stigma? Mengapa stigma dapat tumbuh?

Apa itu stigma?

Stigma merupakan ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya[1]. Goffman (1963) menyatakan “stigma as a sign or a mark that designates the bearer as ‘spoiled’ and therefore as valued less than normal people”. Hal tersebut berarti bahwa stigma adalah tanda atau ciri yang menandakan bahwa pemilik stigma membawa sesuatu yang buruk, maka dari itu dinilai lebih rendah dibandingkan dengan orang lainnya. Akibat dari stigma ini, timbullah berbagai pandangan yang menyatakan bahwa korban kekerasan seksual merupakan individu yang ‘nakal’ atau ‘tidak benar’. Serta, banyak juga yang menyalahkan korban atas kasus kekerasan seksual yang dialaminya.

Mengapa stigma bisa tumbuh?

Stigma dapat tumbuh pada masyarakat karena kurangnya pemahaman. Tidak semua orang mengerti apa itu kekerasan seksual dan dampak-dampak yang dapat terjadi pada korban. Peran media massa dalam pertumbuhan stigma ini juga memberikan dampak yang besar. Seperti gambaran negatif terhadap korban, disajikannya mitos-mitos, stereotip terhadap kekerasan seksual yang belum tentu benar adanya, dan banyak hal lain. Menurut Link and Phelan (2001), stigma tumbuh dari empat proses: (1) pelabelan perbedaan manusia; (2) pemberian stereotip atas perbedaan tersebut; (3) memisahkan individu yang diberi label dari “kita”; dan (4) hilangnya status dan perlakuan diskriminasi terhadap mereka yang diberi label.

Apa pengaruh dari stigma? Mengapa stigma perlu dimusnahkan?

Kehadiran stigma dapat memberikan pengaruh kepada korban. Lengkapnya, pada hasil penelitian Phulf (dalam Simanjuntak; 2005) ditemukan ada beberapa dampak atau akibat dari stigma:

  1. Orang yang terstigma sulit mencari bantuan
  2. Stigma membuat semakin sulit memulihkan kehidupan individu yang terstigma, karena stigma dapat menyebabkan erosi kepercayaan diri (self-confidence) individu, sehingga tertariknya individu dari masyarakat.
  3. Stigma menyebabkan diskriminasi, sehingga individu yang terstigma sulit mendapatkan akomodasi dan pekerjaan.
  4. Masyarakat bisa lebih kasar dan kurang manusiawi pada individu yang terstigma.
  5. Keluarga individu yang terstigma menjadi lebih terhina dan terganggu.

Pengaruh lebih lanjut terhadap korban dapat berupa timbulnya ketakutan atas melekatnya stigma-stigma tersebut. Sehingga, tumbuh rasa enggan untuk melapor, menindaklanjuti, atau mencari pertolongan atas perilaku kekerasan seksual yang korban alami. Kekhawatiran atas rekam jejak buruk korban di mata masyarakat bak momok yang terus mengikuti. Akibat dari tertundanya pemulihan pada korban kekerasan seksual dapat memberikan luka yang lebih gawat bagi masa depan mereka.

Bagaimana bentuk dan komponen stigma?

Komponen-komponen dari stigma adalah sebagai berikut:

  1. Labeling: Pembedaan dan pemberian label atau penamaan berdasarkan perbedaan yang dimiliki anggota masyarakat tersebut.
  2. Stereotype: Konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yang subjektif dan tidak tepat.
  3. Separation: Pemisahan “kita” (sebagai pihak yang tidak memiliki stigma atau pemberi stigma) dengan “mereka” (kelompok yang mendapatkan stigma)[2].


Apa upaya yang dapat kita lakukan demi menghentikan stigma ini?

  • Pelajari serta pahami bentuk-bentuk kekerasan seksual. Ulas juga mitos dan fakta, hingga kebenaran atas stigma dan stereotip yang beredar. Sebarkan juga kepada publik agar tumbuh kesadaran terhadap hal-hal terkait.
  • Stigma muncul dari ketakutan masyarakat. Ketakutan kerap kali didapat dari informasi yang simpang siur di khalayak ramai. Langkah yang paling baik dilakukan adalah untuk tidak menyebarkan berita yang belum diketahui kebenarannya. Seperti gosip, kabar bohong, dan ujaran yang menyebarkan kebencian terlebih kepada korban.
  • Beri korban ruang untuk memproses dan memahami kejadian. Jangan menekan korban dengan pertanyaan-pertanyaan. Pastikan bahwa korban tahu bahwa ia tidak sendirian dan ini bukan salahnya.
  • Hindari sikap menghakimi dan selalu tawarkan dukungan dan bantuan untuk korban kekerasan seksual.

Mengupas fakta bahwa terdapat berbagai pengaruh traumatis yang dapat mempengaruhi korban dikarenakan stigma yang melekat, mengharuskan kita untuk memusnahkan stigma tersebut dengan cepat. Bagi korban, ingat bahwa selalu ada kesempatan untuk pulih dan bangkit kembali. Memang perlu waktu, tetapi itu sama sekali bukanlah hal yang mustahil. Akhir kata, selalu ingat bahwa tidak ada lagi ruang yang tersisa bagi kasus kekerasan seksual di Indonesia!

Penulis: Fayola Maulida
Penyunting: Mellysa Anastasya
Penerjemah: Faye Simanjuntak

Sumber:

  1. RR Dian Tristiana. 2017. Stigma. http://rrdiantristiana-fkp.web.unair.ac.id/artikel_detail-170705-Mental%20health%20Nursing-STIGMA.html

Merujuk kepada:

    • Goffman E. 1963. Stigma: Notes on the management of spoiled identity. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.
    • Link, B. G., & Phelan, J. C. 2010. Labeling and stigma. In T. L. Scheid & T. N. Brown (Eds.), A handbook for the study of mental health: Social contexts, theories, and systems (p. 571–587). Cambridge University Press
    • Simanjuntak, W. 2005. Upaya Mengatasi Stigma Masyarakat pada Narapidana. Depok: Fakultas Psikologi UI.)

[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia V (2016)

[2] Clair, M. 2018. Stigma. Core Concepts in Sociology. Harvard.

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x